Bersama Atasi Kepunahan Bahasa

| dok. Rosida T. Manurung |


Tidak ada yang tidak punah, termasuk bahasa-bahasa daerah. Sepakat. Namun ikhtiar harus terus berjalan. “Semua juga akan punah, tapi tidak secepat itu”, tandas Kepala Badan Bahasa, Kemendikbud, Prof. Dr. Dadang Sunendar dalam Pembukaan Seminar Leksikografi Indonesia: “Tantangan Leksikografis Bahasa-Bahasa Daerah di Indonesia”, Hotel Santika, Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta, [26/7/16].*


 Bahasa Mati

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud mengindentifikasi, dari 659 bahasa daerah, baru 617 yang sudah diverifikasi. 

“Meski orang mengatakan lebih dari 800, mungkin saja lebih dari seribu. Namun kondisi kita sampai 659 pun belum tuntas. Baru sampai verifikasi ke 617 bahasa daerah,” Jelasnya. 

Menurut UNESCO seperti yang tertuang dalam Atlas of the World’s Language in Danger of Disappearing, di Indonesia terdapat kurang lebih 154 bahasa yang harus diperhatikan, yaitu sekitar 139 bahasa terancam punah dan 15 bahasa yang benar-benar telah mati. 

Bahasa-bahasa yang terancam terdapat di Kalimantan (1 bahasa), Maluku (22 bahasa), Papua Barat dan Kepulauan Halmahera (67 bahasa), Sulawesi (36 bahasa), Sumatera (2 bahasa), dan Timor-Flores dan Bima-Sumbawa (11 bahasa). Sementara bahasa yang telah punah berada di Maluku (11 bahasa), Papua Barat dan Kepulauan Halmahera, Sulawesi, dan Sumatera (masing-masing 1 bahasa). 

Berbagai upaya ditempuh guna melestarikan bahasa daerah, termasuk registrasi dan dokumentasi bahasa daerah sebagai kekayaan sejarah, warisan budaya turun temurun sampai ratusan tahun ke depan harus tetap ada di bumi Indonesia. Prof. Dadang menyontohkan Bahasa Latin, meski ditetapkan sebagai bahasa mati namun tetap bertahan hingga hari ini.

“Kita lihat bahasa Latin, bahasa yang menjadi rujukan di Eropa. Latin merupakan bahasa yang di perguruan tinggi menjadi bahasa wajib untuk dipelajari. Teman-teman di fakultas Kedokteran, dan Hukum, ada pelajaran bahasa Latin. Berstatus bahasa mati, tapi manfaatnya masih terasa sampai sekarang. Meski sudah tidak ada, masih tetap berguna. Jadi jangan kita berpikir, kalau sudah hilang ya sudah, ini harus dilakukan,” tuturnya.  

Diakui, kurang perhatian akan kondisi tersebut lantaran kepunahan bahasa daerah belum dianggap ancaman bagi vitalitas bahasa yang berpengaruh terhadap ketahanan nasional.  

“Persoalan ketahanan politik, sosial, ekonomi, ideologi, ada juga budaya termasuk bagian dari ketahanan kita. Selama ini yang disebut ancaman selalu terorisme, ketatahan-ketahanan yang bersifat fisik. Tapi kita bergerak dalam dimensi yang berbeda. Kita berkumpul di sini karena menyadari ada ancaman dari dimensi lain; ancaman terhadap bahasa,” ungkapnya.



dok. badanbahasa.kemdikbud.go.id
Target 200 Ribu Lema

Selanjutnya, penambahan lema Bahasa Indonesia menjadi program prioritas Badan Bahasa dari tahun ke tahun. Tahun ini ditargetkan sampai 118 ribu lema.  

“Tahun ini diharapkan bisa sampai 118 ribu. Pak Menteri mematok pokoknya 2019 harus menjadi 200 ribu. Kita mesti berdiskusi bagaimana caranya. Salahsatunya melibatkan Ibu dan Bapak memberikan bantuan. Kita libatkan ekosistem sebanyak mungkin,” imbuhnya di hadapan para peserta seminar.  

Untuk itu, dengan target yang makin tinggi ini perlu dibarengi sejumlah terobosan. Antara lain penambahan kegiatan Sidang Komisi Istilah. Jika biasa diadakan setahun dua kali, ditambahkan menjadi setahun empat kali, atau ditambahkan jumlah perwakilan bidang Ilmu. Jika sidang komisi mengundang sekitar 8 bidang ilmu, bisa ditambah menjadi 20 bidang ilmu.

Namun, tidak serta-merta dengan mudah menambahkan lema baru demi mengejar target semata. 

“Kita harus membuat terobosan-terobosan termasuk jumlah anggaran. Tapi ditambahkan juga anggarannya, kita masih belum sanggup. Karena sebagai bangsa yang bermartabat kita tidak bisa asal memasukan lema baru untuk mengejar target. Kita harus punya dasar, sidang komisi istilah yang jelas mengapa lema itu masuk,” pungkasnya.

Seminar menghadirkan lima narasumber utama, yaitu Prof. Dr. Dadang Sunendar, M. Hum. (Kebijakan Pengembangan Kamus Bahasa Daerah di Indonesia), Dr. Sugiyono diwakilkan Dr. Dora Amalia (Tantangan Leksikografis Bahasa-Bahasa Daerah di Indonesia), Deny Arnos Kwary, Ph. D. (Kamus sebagai Kitab Undang-Undang), Dr. Hasan Alwi diwakilkan Azhari Dasman, M.Hum. (Pemerian Makna), dan David Moeljadi (Wordnet Bahasa).

Seminar yang berlangsung empat hari ini juga menghadirkan 14 pemakalah yang membawakan beberapa subtema yaitu (1) Leksikografi Lapangan, (2) Pemanfaatan TIK dalam Penyusunan Kamus, (3) Penanganan Dokumentasi Bahasa-Bahasa Daerah, (4) Aspek-Aspek dalm Penanganan Kata-Kata Budaya dalam Kamus, dan (5) Penyusunan Korpus Bahasa Indonesia.

*  penulis mendapat kehormatan menjadi salahsatu  peserta seminar.

Komentar