Pejaipong Penjaga Maung di Anjungan Jawa Barat



Terakhir saya berkunjung ke Taman Mini Indonesia Indah (TMII) di Juli 2016, saat mengikuti lokakarya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, di sebuah hotel,  di depan gerbang masuk TMII. Jadi tidak di dalam TMII. Selama 4 hari mengikuti pelatihan, tidak terbersit pun berkeluangan untuk memasukinya


Anjungan untuk Pernikahan

Kalau saja saya tidak bergabung dengan Expedition Training Rekreasi Budaya yang diadakan Sobat Budaya (4/3/17), kecil kemungkinan saya sempat kembali menjelajahi Taman Mini, miniatur nusantara itu, sejak pertamakali masuk saat kunjungan sekolah dasar di 1980an. Pendek kata, ya, sebagai orang Jakarta yang mestinya sadar budaya, saya memang kurang membanggakan.



Sobat Budaya melakukan ekspedisi dengan mengunjungi tiap anjungan rumah adat nusantara. Tim ekspedisi Sobat Budaya dibagi menjadi beberapa kelompok. Tiap kelompok mendapat tugas mendata apa saja yang terdapat di rumah adat nusantara dan menggali filosofi tentang rumah adat nusantara. Kelompok kami; saya, Wulan, Dika dan Umi, mendapat tugas mendatangi anjunagn daerah jawa barat dan jawa timur.

Apa itu Anjungan Daerah? Menurut laman tamanmini.com, anjungan daerah adalah bangunan-bangunan rumah adat yang bercirikan arsitektur tradisional khas daerah Indonesia. Terdapat 33 Anjungan Daerah yang dibangun berderet mengelilingi danau Miniatur Arsipel Indonesia, melambangkan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Tiap provinsi menampilkan sekurangnya tiga bentuk rumah adat khas daerah, berada di satu kawasan yang disediakan untuk provinsi bersangkutan.

Sesuai maksud didirikan anjungan, kami berharap akan memperoleh informasi mengenai rumah adat berikut isinya. Namun apa daya, ternyata hampir seluruh petugas di Anjungan Daerah Jabar saat itu sedang sibuk mempersiapkan resepsi pernikahan anak seorang petinggi ibukota yang akan digelar di anjungan tersebut. Begitu info dari Dini, seorang penjaga anjungan yang siaga di pintu masuk, segera membagikan brosur-brosur dan mempersilahkan kami masuk saja melihat-lihat yang dipamerkan di dalam.


Tak puas hanya disodorkan brosur, kami pun mengajak Teteh Dini -panggilan kami mengakrabkan begitu tahu dia berasal dari Jawa Barat-bercakap santai.

“Ada yang antusias, ada yang cuek, yang datang dominan SD dan SMP karena ada pelajaran dan mengisi tugas saja. Hanya datang ikut perintah guru, suruh ke sini, terus respon biasa saja,” aku Teh Dini saat ditanya respon pengunjung.


Jangankan anak-anak usia SD, Teh, kami pun demikian, begitu masuk ke ruang lengang yang memajang segala benda budaya khas Jabar. Sebagian pernak pernik terkunci dalam kotak-kotak kaca tinggi yang berjejer di paling kanan dan kiri. Seorang rekan kami yang semangat membidik kamera, diperingatkan, karena sedikit melewati tali merah pembatas kotak kaca pamer. Kala itu pengunjung hanya kami berempat dan beberapa anak kecil yang ke sana ke mari.



Jaipongan Sejak SD


Macan yang bosan menganga di pojok tengah menambah temaram suasana di dalam. Saya berupaya antusias, membayangkan kala pemandu anjungan berbagi kisah seru, lalu saya tertinggal dari rombongan, dipikat ajakan maung, menembus portal rahasia di ujung, tersedot ke pusaran waktu Prabu Siliwangi bertahta.   

Gamelan, angklung, dan gong yang teronggok menanti lama minta berbunyi. Peluang terbesar seperangkat itu bisa dimainkan adalah jika kita memang sedang melakukan riset  serius. Seperti yang pernah datang seorang mahasiswa asing meneliti bunyi gong.

“Dulu pernah ada, sudah lama banget, 5 tahun lalu. Dia menganalisa  bunyi gong. Frekuensinya. Seorang cowok. Dia memang di sekolah musik, tesisnya mengenai itu, gema gong. Tim Seksi Seni dan Budaya mengijinkan. Dia duduk di depan langsung praktek,” kenang Teh Dini yang sudah bekerja selama 10 tahun di TMII berawal di bagian tiket perjalanan.  

Sebagai petugas, Teteh Dini menguasai pengetahuan akan anjungan yang dijaganya. Ia lulusan SMIP Parawisata dan sedang berkuliah jurusan Sastra Inggris di Universitas Nasional Jakarta. Ibu dua anak, yang sulung berusia 9 tahun ini, juga ternyata penari jaipong, meski kini lama tidak menari lagi.  

“Saya dulu menari jaipongan, dari kelas 2 SD. Awalnya sekadar ikutan, sudah agak besar, menari ke sana-sini ikut event. Sebelum masuk Taman Mini, saya mengajar di anjungan tiap selasa, sabtu, dan minggu. Sekarang sudah engga. Semenjak menikah, fokus sama seluarga,” ungkapnya.  

Bagaimana dengan anak-anak, Teh, ada yang mulai terlihat mengikuti jejak Teteh? 

“Anak saya sukanya renang sama badminton. Menurun dari gen ayahnya,” selorohnya. Baiklah. terima kasih Teh Dini... kami melanjutkan ekspedisi ke Jawa Timur.  

  

infobudaya.net




      

Komentar