H.B. Jassin Bukan Yang Terhebat


Berpulangnya HB Jassin pada 11 Maret 2000 seolah penanda mati juga kritik sastra hari ini. Sehingga tiada lagi karya kritik sastra mumpuni. Demikian dilontarkan Pengajar Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka, Mohamad Zaelani dalam Seminar Nasional Kritik Sastra “Kritik Sastra yang Memotivasi dan Menginspirasi,” Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Jakarta (15/8/17). 



Teori Kalahkan Penghayatan

“Terjadi kemunduran yang sangat besar setelah 90an. Seakan meninggalnya HB Jassin penanda matinya kritik sastra Indonesia. Karena setelah itu tidak ada lagi karya kritik sastra yang mumpuni,” tandasnya dalam sidang pararel di hari pertama.

Padahal, meski terkenal dengan julukan “Paus Sastra Indonesia”, menurut Zaelani, H.B. Jassin bukanlah kritikus sastra yang terhebat. Tapi diakuinya, Jassinlah yang paling konsisten dan ikhlas.

“HB Jassin bukan kritikus yang paling hebat. Tapi paling konsisten dan ikhlas dibanding yang lain. Seperti saya, tidak kuat karena dapur tidak ngebul, ya sudah, tinggalkan kritik sastra,” ungkapnya.

Jassin seorang otodidak, karena itu karya kritiknya lebih bersifat impresif ketimbang akademis.

“Jassin mulai menulis di tahun 40an. Ketika itu tradisi ilmiah kritik sastra kita belum tumbuh. Jassin seorang kritikus otodidak. Karena itu karyanya tidak bersifat akademis. Jassin itu sangat impresif. Kesan mendalam dari karya itu yang dia jadikan lahir puluhan kritik sastra,” papar penyaji makalah bertajuk “Mensinergikan Kritik Akademik dan Populis”.   




Jassin sendiri mengakui, ia harus membaca berulangkali suatu karya hingga mengecap saripatinya sebagai bekal menulis kritik.

“Dia mengakui dalam surat-suratnya, ‘saya akan membaca berulang-ulang bahkan sampai berpuluh kali sampai saya menemukan intisari dari karya itu, baru saya menulis’,” tutur Zaelani.

Tulisan-tulisan kritik Jassin tidak panjang, berupa esai sekitar 3-4 halaman yang dikumpulkan menjadi buku.  Ciri khas Jassin, penghayatan mengalahkan teori.

“Secanggih apapun dasar teorinya, kalau gagal menghayati karya sastra, kritik itu gagal. Kelemahan kritik akademis, teori mengalahkan penghayatan. Sehingga kritik menjadi kering. Sastra tidak menjadi satu bangunan utuh lagi, hanya bagian-bagian kecil yang kadang malah kita tidak menikmati sebagai keindahan sastra,” pungkasnya.

Sidang pararel ini juga menghadirkan narasumber dengan sajian makalahnya, antara lain; Puji Retno Hardiningtyas (Di Tengah Kondisi Krisis Kritik: Menelusuri Budaya Kritik dan Kritik Sastra Terkini, Chye Retty Isnendes (Pengembangan Kritik Sastra), dan Arif Hidayat (Kritik Sastra Indonesia Menuju Analisis Kritis, bersama Moderator Sastri Sunarti.  

Komentar