BPJS Kesehatan Mismatch Bukan Defisit

healthcare forum


Kebiasaan merokok adalah mata rantai kemiskinan paling akut di Indonesia. Karena konsumsinya justru lebih banyak terjadi di rumah tangga miskin. Makin miskin dan rendah pengetahuan seseorang akan kesehatan, makin tinggi risiko rentan penyakit. 


Naikkan Harga Rokok

Demikian disampaikan Direktur Indonesia Development and Islamic Studies (IDEAS) Yusuf Wibisono dalam Idealektika Forum #3 "(Mimpi) Jaminan Kesehatan Bagi Seluruh Rakyat Indonesia", Gerakan Kesehatan Masyarakat dan Review Menuju Universal Health Coverage Indonesia 2019, Jakarta (11/4/18).

Menurut Yusuf, hal ini sangat mengenaskan. Rokok sama sekali tidak menambah investasi kesehatan sedikit pun. Tapi justru dominan dalam pengeluaran rumah tangga miskin. 

Masih terseok urusan ekonomi, masalah lain muncul. Si perokok jatuh sakit akibat kebiasaanya itu. Ia butuh layanan kesehatan yang tidak membuatnya makin susah.

Di sinilah hadir peran Negara dalam Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Apakah kebiasaan yang bisa disebut perbuatan menyakiti diri sendiri ini masuk tanggungan BPJS Kesehatan?   

“Ini jadi masalah ketika orang sakit gegara rokok. Apakah pantas di-cover BPJS? Peran BPJS Kesehatan tentu kita sangat appreciate. Tapi mengherankan ketika BPJS diluncurkan, konsumsi rokok tidak terkendali dan terus berlanjut,” tandasnya.  

Asisten Deputi Bidang Pengelolaan Fasilitas Kesehatan Primer BPJS Chandra Nurcahyo menanggapi pernyataan Yusuf. Dia setuju perlu ada langkah strategis mengatasi budaya merokok. Misal, menekan industri rokok bertanggung jawab dengan menaikkan tarif cukai rokok.  

“Harusnya ada tanggung jawab dari industri rokok. Kalau perlu harga rokok dinaikkan. Supaya persentasi biaya rokok masuk untuk membiayai kesehatan,” usulnya.




Bahkan, lanjut dia, hal tersebut dapat menjadi salahsatu solusi dari kondisi ketidaktepatan perhitungan BPJS Kesehatan yang banyak berita menyebutnya sebagai defisit dan merugi.  

“Defisit sih tidak. Lebih tepatnya mismatch. Kurang tepatnya perhitungan antara kebutuhan pendapatan dengan apa yang harus dibayarkan,” ungkap Chandra  

Mismatch terjadi karena besaran iuran dalam Perpres No. 19 dan 28 Tahun 2016 yang tidak sesuai dengan perhitungan aktuaria. Hal ini menjadi salahsatu tantangan penerapan Jaminan Kesehatan Nasional – Kartu Indonesia Sehat (JKN –KIS).


Tantangan JKN

Tantangan lainnya adalah pendapatan yang belum optimal. Hal ini berkaitan dengan kemampuan membayar (ability to pay) dan kemauan membayar (willingness to pay). Masih banyak peserta informal yang masih belum secara rutin membayar. Kebiasaan mereka membayar iuran ketika jatuh sakit saja.

Tantangan berikutnya adalah terjadi transisi epidemiologi yaitu jumlah peserta penyakit kronis yang terus meningkat. Akibatnya biaya naik 26, 33% dari realisasi biaya 2014-2016. 

Selain itu juga terjadi transisi demografi dari kelompok tertinggi risiko penyakit. Peningkatan kelompok umur usia lanjut (60 tahun ke atas) sebesar 21, 4 juta jiwa atau 12%.

Kemudian prevalensi penyakit katastrofik mencapai 27,62 % dari total anggaran yang dialokasikan. Kelima faktor inilah disebut sebagai pendorong terjadi mismatch atau kekurangan finansial dalam membiayai JKN.

GM Divisi Kesehatan Dompet Dhuafa (DD) dr. Rosita Rivai memaparkan, kehadiran Dompet Dhuafa sebagai jembatan bagi kelompok masyarakat yang belum disentuh BPJS Kesehatan.

“Kami membantu para dhuafa yang tidak terakomodir BPJS Kesehatan untuk dilayani tanpa dipungut bayaran. Bukan hanya kesehatan. Karena kadang masalah kesehatan hanya bagian kecil. Sehingga kami juga ada program integrasi,” tuturnya.

DD hadir dengan inovasi gerakan kesehatan masyarakat. Di antaranya dengan menjalankan program Layanan Kesehatan Cuma-cuma (LKC). 

Ada klinik gerai sehat yang tersebar di 13 wilayah di Indonesia meliputi Aceh, Sumatera Selatan, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, dan Papua.

DD juga mendirikan Pos Sehat Pembinaan Terpadu Penyakit Menular (BINTU PTM) yang tersebar di 12 wilayah di Indonesia mencakup Aceh, Riau, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, DI Yogyakarta, Nusa Tenggara Timur,  dan Papua.

Program unggulan LKC lainnya adalah Program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), Program Anak Indonesia Sehat (PAIS), Program Kebun Sehat Keluarga, dan Program Siaga Bencana. 

Sedangkan untuk layanan unggulan LKC yaitu layanan ambulan terapung dan layanan pengobatan ala Nabi atau thibbun nabawi.

Hadir juga sebagai narasumber Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar  Ikatan Dokter Indonesia dr. Prasetyo Widi Buwono Sp.PD-KHOM.

Komentar