Maraknya
kebudaya Nusantara yang diklaim negara lain ini tak pelak menggedor
nasionalisme kita juga. Tapi apakah sontak kita bisa bilang Malaysia telah
mengklaim atau mengaku-aku budaya asli Indonesia? Aseli? Yakin? Padahal suatu budaya tercipta dari proses pertemuan antar budaya dari daerah bahkan negeri yang berlainan. Jangan terjebak ke nasionalisme kemenyan, Sejarawan
JJ Rizal mengingatkan. Wah, apa tuh?
Daging
Sua Semur Jumpa Kecap di Hari Raya
“Klaim ini menjadi persoalan
karena ada nasionalisme yang disebut Bung Karno sebagai nasionalisme kemenyan.
Nasionalisme tanpa pengetahuan. Banyak dari kebudayaan yang diterima, sesungguhnya juga berawal dari
pertemuan-pertemuan dengan tradisi, budaya,
bangsa, ras, etnik, yang lain,” bebernya dalam Peluncuran Aplikasi Peta Kuliner Nusantara (LENGKUAS),
bukalapak.com, Cityview, Kemang, Jakarta (26/11/16).
Rizal menyontohkan semur, suatu
teknik purba mengolah dan mengawetkan daging yang dimiliki tiap masyarakat. Semur
baru menjadi nama semur daging ketika datang orang-orang Tionghoa ke tanah air
yang memperkenalkannya ke perempuan-perempuan lokal yang mereka peristri.
“Jadi cara mengelola daging
dengan semur ini memang hidup di mana-mana. Tapi semur baru menjadi semur
ketika ada orang-orang Tionghoa datang. Dia menikahi perempuan-perempuan
pribumi, sementara lidahnya masih terbawa dari negeri asalnya. Maka si istri
diajarkan cara membuat kôechiap; sari
ikan. Tapi si istri ini orang Melayu. Dia tidak mau asal terima, maka dimasukkan
unsur budayanya; gula Jawa. Jadilah kecap manis. Di seluruh galaksi tidak ada
kecap manis, cuma di sini. Apakah ini bisa disebut produk Indonesia?” ungkapnya.
Yang menarik, lanjut Rizal, teknik
pengolahan daging dari tradisi purba, bertemu kecap yang merupakan pertemuan dua
budaya, tapi orang Belanda yang memberi nama semur/ smoor; daging yang dimasak
hingga empuk. Semua bertemua di hari raya Ied.
“Uniknya semur ini dimakan
pada hari perayaan orang islam, dimakan dengan sayur sambel godok dan ketupat.
Jadi bagaimana kita mau mengklaim? Kita punya banyak sekali mahakarya. Kita
baru merayakan makanan hari ini sebatas maknyus
dan ajib, artinya tidak menempatkan
makanan sebagai produk budaya,” imbuh Penerbit Komunitas Bambu.
Jadi alih-alih meributkan klaim,
baik kita rayakan mahakarya ini dengan saling menghomati kebhinekaan, menguatkan
persatuan Indonesia... di meja makan.
“Dari makanan kita bisa
belajar persaudaraan, menerima keberagaman sekaligus persatuan kekerabatan kita
sebagai nation. Kita secara sederhana bisa belajar dari sila ketiga pancasila
persatuan di meja makan. Sebelum jadi nation
bernama indonesia, kita nations yang
berproses, yang di dalamnya meninggalkan artefak. Makanan menurut saya artefak,
bukan hanya arsip. Dia menyimpan dunia pertemuan-pertemuan kita dalam rasa. Tidak
ada memori rasa, arsip rasa. Tapi kita bisa memelihara arsip kekerabatan,” pungkas
pencetus perilisan kembali Mustika Rasa, Resep Masakan Indonesia.
Acara peluncuran bertajuk “Peta
Kekerabatan Kuliner & Jalur Rempah Nusantara” yang diselenggarakan Sobat Budaya ini juga
menghadirkan Presiden Bandung Fe Institute, Founder Sobat
Budaya, Hokky Situngkir, Komisaris JNE Johari Zein, dan Ketua Umum Sobat Budaya, Siti Wulandari.