Sebelum bermunculan komik digital, penerbitan komik buku anak bangsa sudah
lebih dulu lesu meski selalu nomor satu. “Industri
komik buku di Indonesia, sebelum ada komik digital pun sudah kembang kempis.
Komik buku matinya di toko buku. Ada komik Jepang, Amerika, memang itu saingan
paling besar, selain pola pikir. Ada kecenderungan lebih baik membeli yang
sudah pasti. Komik Indonesia kan selalu nomor satu. Terbit edisi pertama, nomor
dua tidak ada,” ungkap Komikus Beng Rahadian dalam Bukatalks “Komik di
Era Digital”, Bukalapak, City View, Jakarta (27/7/17).
Komik Strip Untuk Latihan
Mengatasi
kelesuan, banyak komikus memilih berkarya lewat komik strip yang langsung diunggah
ke internet menemui para pembaca. Namun belum banyak komikus yang menggambar komik bercerita panjang.
“Banyak
yang pakai komik strip. Persoalan kita kehilangan stamina komikus-komikus untuk
membuat cerita panjang. Padahal narasi yang penting. Ketika membuat narasi,
kita menciptakan kebudayaan. Banyak hal yang tidak sempat diceritakan hanya
karena kita ingin cepat banyak, cepat sukses, dan besar. Kita lupa semua ada
proses juga,” tuturnya.
Selanjutnya,
Pengajar Ilustrasi DKV Institut Kesenian Jakarta ini mengajak para komikus
pemula untuk banyak berlatih dengan komik strip, dan mencoba menggambar komik
panjang, dimulai dengan membuat komik pendek.
“Saya mengajak
teman-teman pemula yang ingin membuat komik, kita berlatih banyak. Komik strip
dipakai untuk latihan. Tapi cobalah bikin komik pendek, 8-16 halaman. Setelah
itu bikin komik panjang, di atas 24 halaman. Jadi kita tidak kehilangan narator-narator
dalam bidang komik,” ajaknya.
Hadir juga
sebagai narasumber komikus @tahilalats, Nurfadli Musryid, dan Kreator Komik @getgoh dan komunitas
Komikinajah, Randy Indrayanto.