Bukan Cuma Hak, Juga Tanggung Jawab


fintech as solution not problem
  
Jagat maya dikejutkan pengakuan pengguna layanan pinjam uang online yang mengalami perlakuan tak mengenakkan dalam proses penagihan. Selama ini transaksi pinjam meminjam bersifat pribadi. Tapi kini kontak dalam ponsel si peminjam pun bisa tahu karena disebar penyedia layanan pinjaman. 


Pinjam ke Banyak Fintech

Muncullah status-status di media sosial dari mereka yang dihubungi pihak penyedia dana cepat. “Siapa yang meminjam, kok saya yang dihubungi?” Demikian cetus mereka mengundang kepo di sudut komen.

“Padahal saya tidak kenal akrab dengan si kawan (peminjam)”. “Kenapa kontak saya ada sama mereka (layanan pinjam)? Pertanyaan-pertanyaan penasaran ini wajar menguar. Biasanya,  dalam formulir pengajuan pinjaman di bank, kolom kontak selain peminjam diisi nomor keluarga atau kerabat sebagai nomor yang bisa dihubungi saat darurat. Tapi, penyedia akses dana instan ini memang bukanlah bank, meski menjalani salahsatu fungsi institusi keuangan yakni pinjam-meminjam.

Layanan peminjaman uang online ini lebih beken disebut financial technology (fintech) atau teknologi finansial (tekfin). Mencoba cari tahu lebih dari sekadar kata si anu sebut si itu, saya mengikuti gelaran Blogger x Fintech Day “Financial Technology As Solution Not The Problem, BSD, Tangerang (24/11/18).  Di sana saya berkesempatan menyimak sendiri apa saja masalah dan solusinya dari Wakil Ketua Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Sunu Widyatmoko.

Mengenai kasus pengalaman buruk peminjam yang viral, Pak Sunu mengingatkan pentingnya literasi keuangan terutama terkait pemilihan fintech. Dalam hal ini, fintech peer to peer lending (P2P). Ini merupakan salahsatu tantangan fintech. Pengetahuan bagi semua orang agar bisa membedakan mana fintech legal dan mana yang ilegal. 

Hingga saat ini sudah terdaftar 73 fintech di Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Ada sekitar 150 fintech lending di daftar tunggu yang sedang menjalani proses persetujuan OJK. Di situs resminya, kita bisa melihat daftar tekfin yang terdaftar dan diawasi OJK. Ini salahsatu pertimbangan utama sebelum memanfaatkan layanan P2P.

Literasi keuangan perlu dikuasai konsumen untuk menghindari berurusan dengan peer to peer lending yang tidak berpayung hukum dan tak mematuhi peraturan Pemerintah, dalam hal ini Bank Indonesia (BI) dan OJK. Mereka beroperasi secara gelap, meski online, serta menggunakan cara-cara tidak benar dan mengintimidasi peminjam apabila tidak bisa membayar.   

Pak Sunu paparkan, kasus peminjam bermasalah mencuat terutama lantaran sebagian klien yang belum tersentuh bank (unbankable) ini meminjam ke lebih dari satu fintech. 

Akses Dukcapil

Pengguna dapat meminjam ke banyak tekfin karena pemanfaatan digital footprint (jejak digital) sebagai data untuk fintech belum optimal. Ini tantangan berikutnya. Pak Sunu ungkapkan, banyak peminjam menggunakan celah yang ada di fintech yakni belum eratnya komunikasi antar tekfin. “Banyak peminjam menggunakan kelemahan di fintech. Saat ini, satu fintech dengan lainnya belum berkomunikasi secara elektronik,” sebut mantan CEO AirAsia. 

Jadi, kalau ada satu orang pinjam di platform A lalu bermasalah, dia bisa pinjam ke platform B, C, dan D. Ini berbahaya, karena dia menggunakan kesempatan meminjam sebanyak-banyaknya. Untuk mengatasinya, AFPI sedang mengembangkan suatu sistem black list sehingga bila si peminjam bermasalah di satu tempat, dia  tidak bisa pinjam di tempat lain, karena akan terkoneksi informasi terkait reputasi tiap peminjam.

Menurut saya, selain bermunculan fintech abal-abal, sebagian besar debitur yang belum matang dalam manajemen keuangan juga problem. Ini sama dengan menyusahkan diri sendiri. Sudahlah kemampuan mengatur keuangannya lemah, masih nekad berurusan ke banyak penyedia pinjaman dana cepat. 

Belum lagi jika diketahui ternyata mereka berurusan dengan fintech bodong yang tak segan gunakan cara tak menyenangkan dalam penagihan. Akhirnya si peminjam yang pusing mengelola utang-utang ini berteriak di medsos. Disambut antusiasme warganet yang menggebu hingga Fintech yang benar-benar resmi dan terdaftar jadi kena getahnya.

Untuk itu, AFPI juga berharap dukungan penuh Pemerintah, salahsatunya bekerjasama dengan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) seperti yang sudah dijalankan institusi dan lembaga keuangan lainnya. Dengan terbuka akses dukcapil, fintech akan lebih mudah menyeleksi calon peminjam yang berkualitas. 

Misalnya, dengan memasukkan nomor KTP, langsung  keluar data dan terlihat apakah sudah terverifikasi Dukcapil. Karena dengan menggunakan software, foto, dan nomor identitas bisa diakali, secara kasat tidak kelihatan bedanya. Maka akses Dukcapil penting bagi kegiatan Know Your Customer (KYC).

Tantangan berikutnya, sebut Pak Sunu, adalah ancaman fraud (penipuan) yang sangat besar di dunia fintech. Praktik penipuan biasanya organized crime yang dilakukan bersama dalam waktu hampir bersamaan. Jadi satu fraud tertentu akan menyerang satu fintech kemudian menyerang beramai-ramai . Untuk mencegahnya, kembali lagi, perlu penguatan fintech legal untuk akses nomor identitas lewat dukcapil.

APA ITU FINTECH?

Fintech, dengan salahsatu fungsinya sebagai layanan akses dana instan, merupakan bagian dari perkembangan teknologi yang merambah bidang keuangan. Fintech hadir menyusul ketersediaan digital footprint para pengguna ponsel pintar (smartphone) yang bertemu dengan kebutuhan para peminjam yang belum disentuh perbankan. Transaksi antara platform dengan klien kelas menengah bawah inilah yang dianggap turut memperkuat inklusi keuangan. 

Dari ketersediaan informasi pengguna, di antaranya melalui email terintegrasi, dan short message system (SMS), hadir tekfin dengan segala fitur kemudahan memperoleh dana segar dalam hitungan hari, jam, bahkan menit. Lewat apilkasi fintech, proses transaksi cukup melalui ponsel hingga pengajuan pinjaman bisa cair dengan cepat. 

Biro Jodoh

Pak Pak Sunu jelaskan, esensi fintech adalah platform, bukan bank. Bank menerima tabungan, deposito, kemudian atas diskresinya, bank memberikan pinjaman kepada debitur. Multifinace juga demikian, ia menerbitkan surat utang, menerima uang, dan meminjamkan kepada debitur.

Sebagai platform, fintech hanya mempertemukan antara yang memiliki uang langsung kepada yang membutuhkan uang. Adapun keputusan pemberian pinjaman merupakan kesepakatan kedua belah pihak. Karena itu, Pak Sunu kerap menyebut fintech serupa biro jodoh. “Saya selalu bilang, istilah paling mudahnya adalah biro jodoh, kita hanya mempertemukan. Tapi plus-plus,” imbuhnya. 

Ada kata ‘plus-plus’, apa tuh, pak? *indera laba-laba langung berdenging*. Tidak hanya match maker, plus lain dari fintech adalah juga melakukan verifikasi kepada calon peminjan. Tekfin memastikan pemilik dana mendapatkan informasi yang sebaik-baiknya dan sebenar-benarnya tentang si calon peminjam. Proses verifikasi paling mudah adalah melalui penulusuran jejak digital.

Rekam Jejak Digital

Perkembangan big data, dalam hal ini digital footprint (jejak digital), yang sudah tersedia, dapat memberikan informasi kemampuan calon debitur dalam membayar. Dari situ tekfin menggunakan sistem penilaian terhadap calon-calon peminjam. Informasi ini yang selanjutnya disampaikan kepada pemilik uang yang berniat memberikan pinjaman. Dari proses transaksi elektronik dan matching yang berjalan cepat inilah, akhirnya transaksi peer to peer landing/ P2P (pinjam-meminjam) terjadi dan bisa cair dalam waktu relatif singkat.

Sebelum memberikan pinjaman, mirip dengan lembaga keuangan lainnya, fintech juga melakukan credit scoring. Kalau bank meminta bukti dokumen formil, sedangkan tekfin cukup mengetahui dari rekam jejak digital. 

Fintech bisa mengetahui apakah calon peminjam ini mampu membayar-meski bukan dari kalangan pekerja formal yang memiliki slip gaji-adalah lewat akses pesan pendek. Pendapatan mereka bisa diketahui dari seberapa sering melakukan isi ulang (top up) pulsa dan besarannya, apakah mereka isi pulsa mingguan atau bulanan.

Kedua, penilaian kemampuan bayar bisa diperoleh dari akses daftar nomor kontak ponsel si calon peminjam. Cara ini memang sedang hangat diperdebatkan karena mengundang pro dan kontra. Menurut Pak Sunu, langkah ini merupakan salahsatu dari credit scoring 101 atau panduan umum lembaga keuangan dalam penilaian terhadap calon debitur, tidak hanya dilakukan oleh fintech. 

Fintech dapat membaca karakter dari daftar nomor kontak calon peminjam.  Bila ada lebih dari dua nomor di daftar kontak calon peminjam yang diketahui punya masalah kredit macet, besar kemungkinan si calon peminjam ini pun berpotensi gagal bayar. Saya kontan teringat suatu ungkapan, you are what your friends. Khusus dalam kontkes ini: you are what your contacts list.  😆

Kemudian, akses ke daftar nomor kontak ponsel diperlukan untuk mengetahui, apakah nomor kontak darurat yang dicantumkan si calon peminjam, benar-benar ada di daftar kontak ponselnya. Kalau ternyata tidak ada, besar kemungkinan si calon peminjam akan bermasalah, karena sudah bertindak membohongi sedari awal. 

Jadi, bagi fintech yang terdaftar dan diawasi OJK, akses ke contact list memang dipergunakan sebagaimana mestinya. Tidak seperti yang dilakukan fintech ilegal yang memanfatkan daftar kontak ponsel si peminjam untuk mengitimidasi. 

Berikutnya, fintech jenis lending dibagi menjadi 3: P2P untuk kedit produktif, P2P untuk produk syariah, dan P2P untuk kredit multiguna, disebut juga consumer loan atau cash loan. Untuk  kredit produktif, karena nominal peminjaman relatif besar, maka mensyaratkan jaminan. Field collection pun diberlakukan. Yang tidak mensyaratkan adanya jaminan adalah pinjaman multiguna, mirip pinjaman tanpa agunan. Di sini literasi keuangan memegang peran utama. Bahwa akses kemudahan memperoleh dana segar harusnya diiringi kemampuan menjaga kepercayaan. Dengan begitu akan terjalin hubungan sinergis antara penyedia layanan online pinjaman dengan peminjam. 

Dari langkah-langkah yang ditempuh di atas menunjukkan fintech juga menerapkan prinsip 5 C dalam perbankan, yakni: Character, Capacity, Capital, Condition, dan Collateral
   
Prospek Fintech

Aplikasi fintech diakses utama lewat ponsel, maka kita tak bisa menafikan relevansinya dengan penggunaan smartphone yang kian meluas. Dari sisi demand, ada 60 juta populasi orang dewasa di Indonesia yang memiliki ponsel tapi tidak memiliki akses perbankan. Peluang menarik ini yang ditangkap fintech lewat fitur-fitur inovatifnya. 

Dari sisi supply, Pak Sunu ungkapkan, debitur fintech saat ini berjumlah sekitar 2,6 juta.  Angka ini berbanding menyolok dengan jumlah pemberi pinjaman yang hanya sekitar 130-an. Ilustrasinya, 1 lender memberi pinjaman kepada sekitar 20-an borrowerNamun, perkembangan fintech memungkinkan meningkatnya jumlah pemberi pinjaman karena tidak ada patokan besaran nominal tertentu bagi suplai di ranah ini. 

Hal ini diungkapkan Ketua Harian Asosiasi Fintech Indonesia Kuseryansyah dalam kesempatan yang sama. Sudah ada platform yang membuka peluang bagi pemberi pinjaman meski hanya punya uang Rp 100- 500 ribu, Bahkan sudah ada fintech yang menerima lender dengan hanya Rp 50 ribu. Artinya, ada potensi kepartisipasian yang besar dari sisi user experience yang makin memperkokoh inklusi keuangan.  

Bidik pasar yang belum optimal disasar lembaga keuangan konvesional, membuat fintech tumbuh pesat. Pak Sunu menukil data OJK, dari ke 73 fintech. selama 9 bulan (Desember 2017- September 2018), pertumbuhannya mencapai 440% dengan total outstanding sekitar Rp 11,8 triliun. Wah, bukan double digit tapi triple digit hanya dalam waktu 9 bulan. Angka yang sangat besar untuk ukuran pertumbuhan yang belum setahun.    

Sasar Pasar Unik

Jika sebelumnya saya melihat fintech identik dengan pinjaman konsumtif, tidak sepenuhnya demikian dalam Fintech peserta Blogger x Finctech Day. Penyelenggara keuangan berbasis teknologi yang hadir melakukan presentasi dan membuka booth, memiliki ceruk pasar (market niche) tersendiri dan spesifik. Sebagai catatan, fintech yang hadir di perhelatan ini adalah yang berbasis bunga (interest). Jika tuan dan puan lebih berkenan yang non bunga, bisa memilih fintech syariah yang juga terdaftar dan diawasi OJK  

Berikut peserta tekfin yang meramaikan Fintech Day:

1.    Rupiah Plus. Platform P2P yang fokus membantu wiraswasta mikro
2.    Pinduit. Pinjaman pendidikan tanpa agunan yang menyalurkan dana pendidikan langsung ke institusi pendidikan yang dituju
3.   Aktivaku. Tekfin yang pertemukan pemilik properrti yang butuh dana dengan pemilik dana di luar sistem perbankan.
4.    Cashcepat. Fintech yang  menyediakan pinjaman cepat untuk para pekerja, dana permodalan untuk UMKM, fasilitas ringan untuk petani, dan permodalan untk pengusaha pertanian
5.  Taralite. Fintech yang menyediakan pinjaman online yang bekerjasama dengan Tokopedia, Dekoruma, Bukalapak dan Lazada.
6.     Cashwagon. Menyediakan layanan keuangan premium tanpa persyaratan jaminan, prosedur pengajuan rumit, atau waktu tunggu lama.   
7.    UangMe. Aplikasi kredit pinjaman uang online tanpa agunan dengan proses cair cepat.
8. KreditPro. Layanan Pinjaman Invoice Financing dan Working Capital dan pengembangan usaha bersama Dana Komunitas.


Kepada fintech yang punya ceruk yang spesifik dan kecil, saya kembali penasaran, apakah akan eksis. Namun ternyata memang ada pasar potensial yang belum banyak digarap. Contoh, banyak masyarakat yang kesulitan melanjutkan sekolah karena biaya pendidikan melangit. Hadirnya fintech yang khusus menyediakan fasilitas pinjaman biaya pendidikan adalah semata untuk mendukung tercapai cita-cita hingga bermuara pada peningkatan taraf hidup.

Fintech yang peduli di dunia pendidikan salahsatunya Pinduit. Co Founder Pinduit Tommy Yuwono  beberkan fakta kondisi miris dunia pendidikan di tanah air. Ada perbandingan kontras antara biaya pendidikan dengan pendapatan perkapita. Rerata pemasukan dibanding biaya pendidikan adalah 153%. Biaya pendidikan lebih mahal satu setengah kali dibanding pemasukan. Kita lihat di Amerika Serikat, perbandingan pendapatan dengan biaya pendidikan hanya 51%. Jadi gaji warga Amerika masih dua kali lipat dari biaya pendidikan.

Kita tengok persentase keikutsertaan orang Indonesia di pendidikan tinggi hanya 27%. Sedangkan di Malaysia sudah 34%, Philipina 43%. Ada  7% teman mahasiswa kita yang drop out gegara terbentur biaya pendidikan. Tiap tahun ada sekitar 1 juta orang di Indonesia tidak bisa melanjutkan pendikan tinggi karena kekurangan biaya. 

Untuk itulah fintech lending berbasis pendidikan ini hadir menjembatani peserta didik dengan institusi pendidikan. Jika pinjaman disetujui, Pinduit sendiri yang langsung membayarkan kepada sekolah atau universitas yang dituju peminjam. Jadi tepat sasaran dan terhindar dari kemungkinan default. Tidak hanya perguruan tinggi, Pinduit juga memberikan pinjaman untuk berbagai jenjang pendidikan: Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Umum, Sekolah Menegah Kejuruan, dan Lembaga-lembaga kursus.  

Ada juga  fintech yang memberikan pinjaman kepada nelayan rumput laut bekerja sama dengan koperasi yakni KreditPro. Untuk yang satu ini penasaran saya sudah diwakili Pak Sunu. Pak sunu sempat bertanya, kok rumput laut? Pangsa yang sangat kecil. Namun ternyata dia mendapati upaya fintech mendongkrak potensi tersembunyi bangsa. Indonesia merupakan salahsatu penghasil rumput laut terbesar di dunia. “Mata saya jadi terbelalak. Fintech memberi kesempatan kepada industri, masyarakat, untuk mengembangkan usaha, meningkatkan taraf hidupnya, masuk dalam digital ekonomi, “ sebut CEO Dompet Kilat.  

Bukan Saingan Bank

Jadi, jika semua infrastruktur digital tersedia dan kuat, sebenarnya fintech juga melakukan langkah profesionalitas yang sama seperti bank. Namun bukan berarti fintech muncul untuk mengesampingkan peran bank hingga dikhawatirkan terjadi saling berebut ceruk pasar atau crawling out. Karena fintech menyasar kepada credit gap yang sangat besar belum disentuh lembaga dan institusi keuangan yang lebih dulu eksis. 

Pak Kuseryansyah mengutip data World Bank yang memaparkan credit gap di Indonesia. Ada sekitar 1600 triliun rupiah permintaan kredit per tahun, sedangkan yang bisa dipenuhi perbankan dan lembaga keuangan lainnya hanya sekitar 600-an triliun rupiah. Jadi masih ada gap 1000 triliun rupiah. Diperkirakan hingga akhir tahun fintech akan melayani sejumlah 20 triliun rupiah, belum ada separuhnya dari gap. Jadi, peluang ini pun masih sangat besar.          
Fintech tidak akan bisa gantikan atau bertentangan dengan financial institution yang lebih dulu ada, karena OJK sudah menetapkan batasan. Fintech diperbolehkan masuk pada satu debitur maksimum tidak lebih dari Rp 2 miliar. Hal ini memberikan gambaran bahwa tekfin tidak bisa masuk ke market perbankan yang memiliki perputaran perusahaan relatif menengah ke atas.

Alih-alih bersaing, fintech justru bersinergi dalam inklusi keuangan. Peraturan OJK menetapkan proses pemberian dan penerimaan pinjaman harus dilakukan mekanisme perbankan melalui rekening bank. Tidak boleh membawa uang tunai sehingga penerapan cashless pun kian meluas. Tiap pengguna fintech tetap harus memiliki rekening bank. Di sini dorongan untuk inklusi keuangan terjadi.

selanjutnya, ada sekitar 60 juta UMKM yang membutuhkan pendanaan untuk sektor produktif. Fintech membuka kesempatan bagi kalangan usaha produktif yang belum memiliki akses ke perbankan, tidak memiliki dokumen seperti slip gaji, tapi punya komitmen untuk melunasi pinjaman secara tepat waktu. Dalam hal ini, fintech lending juga turut berperan mengawal UMKM hingga bisa naik level dan masuk pada pangsa perbankan.  

Proses transformasi seperti ini menurut saya adalah cita-cita luhur yang patut didukung bersama. Jadi tepat sekali jika Pak Sunu katakan fintech hadir dalam tahap peralihan bagi debitur yang nanti makin terlatih seiring bertambah profit dan skala usaha untuk kemudian berlanjut ke level bankable.  

Teknologi dalam infrastruktur pinjam-meminjam dana online memang terus dilengkapi dan diperkuat. Karena prospeknya ke depan diyakini makin cerah menopang pertumbuhan ekonomi nasional.  Evolusi ke depan, fintech akan memiliki credit scoring agency yang mandiri seperti di Amerika Serikat. Kerja fintech peminjaman yang selama ini masih memiliki data sendiri-sendiri, akan lebih ringan dalam menyeleksi calon debitur dan memitigasi gagal bayar. Karena akan sudah tersedia satu data dari penyedia yang indepeden dalam hal penilaian kelayakan dan merekam reputasi tiap debitur.   

Namun, inovasi teknologi tak selalu dibarengi kesiapan literasi penggunanya. Perkembangan dalam penyediaan dana segar yang cepat tanpa persyaratan ribet tidak selalu diiringi peningkatan kemampuan manajemen para peminjam. Bahwa akses dana instan bukan sekadar hak istimewa (privilege), tapi juga tanggung jawab hingga bijak menggunakan fintech. Kembali, tantangan utama mengemuka perihal edukasi keuangan bagi tiap insan ekonomi digital.

Akhirnya asosiasi seperti AFPI, dan AFTECH,  bersama OJK dan BI tentu senantiasa lebih menekankan bagaimana industri fintech bisa tertata dengan baik sehingga bisa memperkuat inklusi keuangan yang sehat. Jadi, jangan sampai tekfin berkembang menumbuhkan inklusi keuangan yang kuat tapi brutal, tidak hanya dalam konteks penagihan, juga dalam penerapan asas perlindungan bunga, dan praktek-praktek lain yang tidak sesuai dengan tata laksana bisnis yang baik (best practice).  

Contoh: kedua asosiasi ini berkomitmen bahwa pagu biaya pinjaman ke nasabah bertujuan untuk melindungi konsumen. Jika pinjaman telah melewati masa penagihan maksimal 90 hari dari tenggat waktu pembayaran, jumlah biaya pinjaman dan pokok dijamin tidak akan bertambah. Jadi, jika ada kasus fintech beratkan konsumen dengan utang yang membengkak akibat bunga yang terus bertambah, bisa dipastikan itu tekfin ilegal.

Di sinilah perlu peran serta dan sinergi dari tiap unsur dalam ekosistem fintech, termasuk narablog yang turut menyebarkan informasi valid langsung dari sumber utama dan terpercaya mengenai apa dan bagaimana sebenarnya peran fintech, yaitu sebagai bagian dari solusi, bukan masalah. Jadi, yuk kita cerdas pilih hanya fintech resmi dengan pinjaman yang sesuai kebutuhan dan kemampuan. 

Blogger x Fintech Day merupakan event kerjasama Fintech Indonesia, AFPI, Ruphiah, Diskartes, Catatan Keluarga Muda, dan danirachmat.com

Komentar