MozBelajar "Pengenalan Tipografi": Batasan Pacu Kreativitas



Kaidah “less is more” juga berlaku dalam penggunaan font untuk desain grafis. Cukup maksimalkan 7 pilihan gaya font untuk 1 jenis font. Mahendra dari Ismaya Design Lab membagi tipsnya. “Dari satu font saja sudah 7 pilihan; light, regular, medium, bold, extra bold, heavy, black. Kita atur spasi, jarak, leading, tracking, kerning. Orang bertanya; ini pakai font apa saja? Padahal hanya satu font standar. Dengan berbagai macam ketebalan dan besaran, itu sudah beda banget,” ungkapnya dalam MozBelajar: Pengenalan Tipografi, Mozilla Community Space, Jakarta (10/9/16).


Maksimal tiga

Keterbatasan memacu kita berpikir lebih dalam berkreasi, dengan hanya satu jenis font mampu bereksplorasi menghasilkan karya. Hal ini juga yang ditanamkan ke mahasiswa desain grafis.

Biasanya, kalau mahasiswa grafis disuruh bikin poster, tapi maksimal 2 font, boleh berbagai ukuran, maksimal beberapa warna. Mereka dikasih tantangan begitu. Karena dikasih batasan, mereka mulai berpikir lebih,” tambahnya.

Sedang, untuk penyusunan buku, Mahendra mengajurkan, maksimal gunakan 3 jenis font, proritaskan pembaca agar tetap konsentrasi pada isi.

“Maksimal 3 untuk pakai font dalam satu desain buku. Karena orang harus tetap berkonsentrasi untuk baca. Kalau kita bikin buku yang penting isinya. Fungsi font membantu orang memahami isi, bukan untuk tampil melebihi isi buku atau konten yang kita mau sampaikan,” jelasnya.



Display font

Untuk kategori font, Mahendra memparkan lebih lanjut, salahsatunya 'serif', disebut demikian karena ada sirip dan kaki. Font ini baik digunakan untuk teks dalam buku karena membantu mata. Tanpa ada bantuan garis, orang bisa mengikuti kata dengan baik. 

Ada lagi, Helvetica, termasuk font yang sangat terkenal di akhir 1950-an, terutama untuk ‘Display font’, dianggap bisa mengantikan gambar. Misal, Iklan coke yang rumit bisa dibuat simpel satu foto dengan botol, di bawah hanya ditulis just coke dengan font helvetica. 

Namun, karena banyak digunakan, Helvetica jadi over-used, kata Mahendra. Mulailah muncul gagasan tipografer untuk menciptakan jenis font baru.

“Helvetica sangat fenomenal, menggantikan banyak sekali font tulisan tangan saat itu. Karena satu dunia menggunakan helvetica, font ini jadi over- used. Di mana pun kita lihat se-New York City, semua signage isinya helvetica. Jadi orang mulai cari font lain. Sebagian tipografer berpikir, kita butuh font baru. Mau mengambarkan kata yang horor, misalnya, kenapa tidak kelihatan horor. Dari situ mereka mulai membuat display font’,” bebernya.



dok. Mozilla Indonesia

Display font memungkinkan penggunaan berbagai jenis font. Karena memiliki “emosi”. tiap font punya kecocokan tersendiri. Misal, untuk membuat desain bertema arsitektur, tidak cocok menggunakan font jenis 'comic sans'. 

Display font tidak selalu pas untuk teks, karena sesuai sebutan, ia dipakai untuk keperluan display, poster, dan iklan .

“Tidak mungkin dengan font ‘yoga’, kita buat 12 point di buku tebal. Nama “Display”  karena memang lebih banyak dipakai untuk keperluan display, seperti iklan, poster,” pungkasnya.

Komentar