Indonesia Peringkat Kedua TBC di Dunia? Kita Evaluasi
Dalam Global Tuberculosis Report 2017 oleh
WHO, disebutkan Indonesia menempati peringkat kedua terbanyak penderita
Tuberkulosis (TBC) di dunia. Benarkah demikian? Simak sambutan Deputi Bidang
Koordinasi Peningkatan Kesehatan Kemenko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan RI
Sigit Priohutomo mewakili Menko PMK RI, Puan Maharani dalam Puncak Hari
TBC Sedunia Tahun 2018 "Peduli TBC Indonesia Sehat", Lapangan
Silang Monas, Jakarta (24/3/18).
Daulat Data
Laporan TB Dunia tersebut menyebutkan, 5 negara yang memiliki jumlah terbesar kasus TB pada 2016 adalah (dalam urutan menurun) India, Indonesia, Cina, Filipina. dan Pakistan. Kelima negara tersebut menyumbang 56% dari total global. Dari ketiganya; Cina, India dan Indonesia menyumbang 45% dari kasus global pada 2016.
Pak Deputi menegaskan, meski sekadar
menyajikan data yang akurat terkait jumlah penderita TBC di tanah air,
Indonesia juga harus berdaulat dan mandiri.
“Kita kurang apanya untuk penanggulangan
tuberkulosis? Kita mesti mengevaluasi kembali. Apa betul kita nomor dua di
dunia. Kita harus bisa berdaulat, mandiri, dan punya kepribadian dalam sekadar
menetapkan berapa jumlah (penderita) tuberkulosis,” tandasnya.
Prihatin akan peringkat tersebut, Sigit
mengajak seluruh peserta yang hadir untuk bersama mengevaluasi. Sudah sejauh
mana kepedulian kita akan pencegahan dan penanganan penyakit paru-paru ini.
Kalau pun sudah sembuh, pengawasan dan
pendampingan terus berlanjut. Terutama rehabilitasi, menyakinkan apakah masih
meninggalkan gejala-gejala hingga penanganan bisa lebih baik dan maksimal
Maka, Sigit kembali mengajak seluruh
sektor kementerian untuk mengatasi masalah TBC. Tak ketinggalan mengajak
segenap unsur masyarakat, di antaranya tim penggerak PKK untuk peduli bersama.
Inilah salahsatu indikator kepedulian kita.
“Kurang enak kalau kita dikatakan kurang
peduli. Kurang melakukan upaya penemuan kasus itu. Capaian kita sangat rendah.
Prevalensi di kita masih sangat tinggi. Ini harus kita buktikan. Apakah betul
seperti itu adanya?” ujar Sigit.
Efek Samping
Dalam perhelatan hari peringatan itu juga diberikan alat kesehatan berupa Audiometri dan Elektrokardiografi (EKG) yang diserahkan kepada 15 perwakilan RS yang tersebar di sejumlah daerah.
Rumah sakit penerima bantuan itu yaitu: RSUP Persahabatan DKI Jakarta, RS Pusat Infeksi Sulianti Saroso, DKI Jakarta, RS Paru Dr. M. Goenawan Partowidigdo Cisarua, Jawa Barat, RSUP Hasan Sadikin Bandung Jawa Barat, RSUP Dr. Karyadi Semarang, Jawa Tengah, RSUD Dr. Soetomo Surabaya Jawa Timur, RSUP Adam Malik Medan Sumatera Utara, RSUP dr. M. Husein Sumatera Selatan, RSUD Zaenoel Abidin Banda Aceh, RSUD Embang Fatimah Batam Kepulauan Riau, RSUD Arifin Achmad Pekanbaru Riau, RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou Manado Sulawesi Utara, RSUP Wahidin Sudirohusodo Makassar Sulawesi Selatan, RSUP Sanglah Denpasar Bali dan RSUD Dok II Jayapura, Papua.
Hadir menyerahkan bantuan alat kesehatan, Menteri Kesehatan, Nila F Moeloek dan Ketua Tim Penggerak PKK Pusat Erni Guntarti Tjahjo Kumolo.
Dalam upaya penyembuhannya, seperti diketahui, pengobatan TBC harus intensif dan memakan waktu lama (6 hingga 8 bulan). Di tengah fase tersebut, sebagian pasien kerap berhenti berobat sehingga kondisi drop.
Apalagi disebutkan terdapat efek samping dalam pengobatan. Yakni mengakibatkan penurunan kualitas pendengaran si penderita. Dengan adanya alat kesehatan, Sigit berharap segala efek samping bisa dideteksi dini sehingga dapat dilakukan penanganan yang tepat.
Dalam peringatan tersebut dicanangkan gerakan TOSS (Temukan TB, Obati Sampai Sembuh). Kegiatan juga semarak dengan stan pameran berbagai organisasi dalam upaya pengendalian TBC, informasi dan edukasi, serta layanan gratis cek kesehatan.