Ketika Media Berikan Teroris Oksigen

cegah aksi teroris

Margaret Thatcher pernah ingatkan “We must try to find ways to starve the terrorist of the oxygen of publicity”. Demikian kutip Ketua Dewan Pers Josef Adi Prasetyo dalam Diskusi Forum Merdeka Barat 9 “Cegah dan Perangi Aksi Teroris”, kantor Kominfo, Jakarta (16/5/18). Pemberitaan media kita soal aksi teror dianggap malah memberi publisitas yang diinginkan teroris. 


 Teroris Juga Nonton

Seperti yang terjadi belakangan ini. Saat teror berlangsung, wartawan merekam video berlari mengikuti polisi yang melaporkan sekitar. 

Bahaya mengintai mengingat shoot dilakukan dari jarak dekat. Belum lagi jika warganet ikut merekam-unggah. Video amatir segera viral menelusup ke grup-grup whatsapp kita.

Tanpa disadari, penyebaran konten eksklusif ini justru memberi angin segar bagi teroris. Publisitas aksi teror bagai oksigen yang dihirup para penebar takut. 

Tidak hanya berhasil menyebarkan efek kekalutan, Josef ingatkan. Video-video  itu menjadi sarana teroris dalam mempelajari dan mengevalusi untuk serangan berikutnya.

“Ketika komandan regu mengatakan kita melakukan operasi. Dikepung dari kiri dan kanan. Begini strategi kita mengamankan. Disiarkan live. Terorisnya nonton. Itu bahaya. Operasi-operasi bisa gagal,” jelas Stanley, panggilan akrabnya.

Stanley juga minta wartawan menunjukkan kepekaan dalam menulis berita. Apa yang tidak tercantum dalam kode etik jurnalistik, di situlah hati nurani wartawan berbicara. 

Misal soal ekspos profil polwan yang ikut bertugas dalam penyelamatan di peristiwa Mako Brimob belum lama ini.

“Mungkin ingin memberi semangat polisi. Inilah satu-satunya polwan dalam pengamanan Mako Brimob. Hati-hati. Ini bukan pujian tapi menjadikan dia target. Jangan-jangan sekarang dia butuh pengaman ekstra,” tandasya.

forum merdeka barat


Bukti kinerja polisi

Awak media berjibaku mendapat angle dekat demi mengutamakan pemenuhan hak publik atas informasi. 

Namun Stanley anjurkan, dalam upaya tersebut, media jangan berlebihan hingga meneruskan pesan terorisme.

“Kami anjurkan media dalam meliput ini hati-hati. Liputan yang over expose malah menimbulkan kepanikan. Tanpa disadari media menyampaikan message terorisme,” tandasnya.

Di lain pihak, Polisi pun ingin mendapat coverage untuk memperlihatkan kinerja kepada masyarakat. Jadi wartawan perlu selalu mengikuti polisi. Termasuk terjun bersama dalam aksi pengamanan. 

Tapi dengan adanya kerumunan di TKP ketika aksi terjadi, malah menyulitkan proses operasi pengamanan.  

Stanley mengajak kita belajar dari aksi terorisme di Thamrin pada 2016 lalu.  Ketika teroris berhasil meledakkan pos polisi di depan Sarinah. 

Orang- orang berkerumun; masyarakat biasa, ojek, wartawan. Celakanya, teroris menyelinap di antara kerumunan hingga ada 2 polisi yang ditembak dari jarak dekat.

Pedoman Peliputan Terorisme

Jadi seperti apa Standar Operation Procedure (Prosedur Operasi Standar) bagi kepolisian maupun jurnalis saat berada di tempat kejadian perkara (TKP)  aksi teroris?    

Dalam sidang pleno pada 2015, Dewan Pers mengesahkan pedoman peliputan terorisme. Salahsatu dari 13 poin itu mengenai aturan pengambilan gambar dari jarak jauh. 

Dengan begitu, sterilisasi TKP memberi kesempatan polisi mengantisipasi kemungkinan serangan susulan dan membuka akses ambulans.  

Stanley juga mengingatkan kembali definisi breaking news (berita sela). Karena selama ini banyak media mengabarkan aksi terorisme dalam format berita sela. Padahal durasinya terus menerus.

“Sebenarnya bukan. Breaking news ada rumusnya. Berapa menit. Peristiwa terkait kepentingan publik dan sifatnya update. Kalau ini siaran live dari pagi hingga tengah malam,” bebernya.

Hadir memberi sambutan Dirjen PPI Kemenkominfo Selamatta Sembiring serta  narasumber; Pengamat Terorisme dari Universitas Indonesia Solahudin dan Tenaga Ahli Menteri Bidang Literasi Digital Kemkominfo Donny BU.

Komentar