Belum genap 40 hari suaminya pergi,
kakakku makin gelisah. Tetiba harus menjadi tulang punggung tak terpikirkan sama
sekali di benak sebelumnya. Apa yang harus kulakukan selanjutnya? Apa yang bisa kuupayakan ke depannya? Ia
memang tidak bertanya. Tapi tak sulit membaca raut wajah dan gestur orang yang mendadak
kehilangan sandarannya.
Saran Belum Solusi
Kakak
mulai mengumpulkan salinan dokumen syarat-syarat untuk melamar kerja. Ia
bongkar lagi penyimpanan arsip lama bukti tanda lulus belajar di sekolah. Kakak jadi
sering menelusuri jagat maya, mengais berbagai informasi lowongan posisi apa saja yang
sekira cocok dengan kualifikasinya.
Namun, sandungan kerap ditemui ketika kita baca daftar syarat yang diajukan di tiap iklan tersebut. Semua
Perusahaan menginginkan pelamar yang sudah berpengalaman. Belum lagi bila mereka menetapkan batasan usia. Kendati demikian, kakakku tetap ajukan
permohonan-permohonan, memastikan doa dan usaha telah dilakukan
Sudah
banyak sanak saudara gulirkan gagasan demi gagasan. Sudah sering kerabat dekat tandaskan
referensi dan panduan. Kamu jualan saja.
Bagaimana kalau kamu buka usaha? Dagang
makanan saja, kudapan ini lagi hits, lho. Sungguh ide yang cemerlang.
Namun,
sampai artikel ini dituliskan, belum ada yang memberikan saran sekaligus menyertakan
modal untuk kakak. Belum ada yang sodorkan solusi.
Aku
ingin menolongnya. Sangat ingin membantunya. Apalagi bila menemui anak-anaknya
yang masih kecil dan sangat membutuhkan sosok ayah. Tapi apa daya, aku pun
sedang berjuang menuju apa yang disebut mapan bagi sebagian orang. Aku juga
masih mencari apa yang kupikir paling tepat kugeluti sesuai minat. Hingga kuberkesempatan
mengikuti Blogger Conference GeTI: “Kesiapan Generasi Milenial Menghadapi
Making Indonesia 4.0”, Slipi,
Jakarta (19/1/19).
Jualan Tanpa Modal
Dalam
konferensi tersebut, aku bertemu beberapa pembicara termasuk sosok inspiratif yang meredakan seliweran gundah kami di kepala. Jawaban untuk kebimbangan kakakku selama ini. Namanya Agustjik Haris.
Tidak
menempuh jenjang kuliah, dan hanya berlatar belakang sales, Bang Agus mampu membuka sumber penghasilan lain di kehidupan ekonominya.
Didorong kebutuhan mencari tambahan pendapatan di luar kerja sebagai karyawan, ia membuka toko online. Uniknya, ia bisa berdagang tanpa perlu modal besar. Cukup koneksi internet dan ketekunan.
Sekarang, omzet dari toko yang sudah berjalan selama 2 tahun ini mencapai puluhan juta. Untung ia raih tanpa mengganggu aktivitas utamanya di perusahaan. Bang
Agus leluasa kelola bisnis sampingannya, karena fleksibilitas
yang tersedia dalam jenis usaha yang digelutinya ini. Ia berdagang
tanpa perlu memiliki produk, tempat penyimpanan ,dan tidak repot dalam pengiriman. Semua sudah ada yang atur.
Yang ia lakukan hanyalah menghubungkan produsen, pemilik produk atau suplier dengan pembeli lewat toko online yang dimilikinya. Bang Agus pun bebas menambah ragam produk jualannya
di toko kapanpun dia mau. Usaha ini dikenal dengan istilah dropship. Begitu saja, kita cukup jadi penyambung? Tunggu dulu, kita masih butuh tools-nya.
Bang
Agus menggunakan platform Detalase dalam
menjalankan bisnisnya itu. Detalase merupakan situs dropship yang membangun Onlinepreneur
di Indonesia dengan menyediakan produk, jasa logistik, metode pembayaran yang
aman, dan customer service yang responsif.
Sehingga, siapapun bisa berjualan secara online
dengan mudah, gratis, dan tanpa harus punya stok barang.
Kelebihan
Detalase antara lain; tak perlu instal aplikasi yang memakan kuota, menyediakan
jutaan varian produk siap jual, dan barang langsung dikirim ke pembeli oleh
perusahan logistik andal. Selain itu, kita tak perlu pusing soal pajak, karena Detalase memiliki izin impor dan ekspor resmi serta
mengurus proses bea cukai di Indonesia.
Yang juga penting, semua transaksi di
Detalase sangat aman, karena sistem pembayaran otomatis tanpa perlu konfirmasi dan
menjamin refund 100%. Pendek kata, Detalase berikan semua keleluasaan berbisnis kepada semua anggota yang bergabung.
Bang Agus lalu ungkapkan pengalaman merintis usaha terutama tantangan melewati tiga bulan pertama. “Sulitnya
minta ampun, tidak ada yang beli. Gua bisa jualan gak sih?” kenangnya.
Lambat laun, perlahan tapi yakin, seiring waktu dan ketekunan, usahanya pun berkembang. Bang Agus
mengaku sudah menjalankan berbagai strategi bisnis untuk menggenjot penjualan.
Namun, menurutnya, tidak ada teori baku dalam menjalankan bisnis.
Tiap pengusaha punya tantangan yang berbeda-beda. Teori yang ajarkan atau buku
yang dibaca hanyalah referensi.
Contoh,
banyak yang berjualan jenis produk sama, sedangkan Bang Agus bandroli harga
paling mahal tapi tetap laku. Di sini Bang Agus ingatkan, yang penting
bagaimana kita memberikan value ke
pasar. Kunci ini baru bisa ditemukan jika sudah bergulat di dalamnya. Inilah
hikmah dari learning by doing. Jalani yang kita tahu, maka kita akan mendapat pengetahuan lainnya di tengah perjalanan.
“Hal-hal
seperti ini yang bisa kita alami saat kita sudah terjun sendiri dalam
bisnisnya,” sebutnya.
Jadi, menurut Bang Agus, yang paling tahu keunggulan dan bagaimana eksekusi bisnisnya adalah si pemilik usaha itu sendiri. Bahkan, dia analogikan, jika ada dua gerai kopi brand sama bersebelahan di satu mal, penghasilannya pun akan berbeda satu sama lain. Baik dari sisi traffic pengunjung, hingga hasil penjualan, meski harga sama dan dekorasi gerai mirip. Hal demikian menandakan, semua orang bisa melakukan, dan bisa meraih value-nya masing-masing.
Ia lalu mengutip ungkapan ciamik "If you want to do something, you will find away. But it you dont want to do something, you will find excuse." Setuju. Padahal kita juga sudah lama akrab dengan wejangan: "Di mana ada kemauan, di situ ada jalan".
Bang
Agus kini memiliki 5 toko. Salahsatunya ia menjual madu impor. Meski mahal
namun produknya laku karena ia mengedepankan kualitas. Produk impor dia pilih
karena persaingan belum ketat.
“Saya
mencari barang yang lebih luas kesempatannya. Makanya saya jual yang impor,”
akunya. Bang Agus juga punya toko yang menyediakan produk-produk lokal.
Jadi
lewat pengalaman yang dibagi Bang Agus, kita dapati bahwa tidak ada yang
namanya kesulitan, yang ada adalah tantangan. Pertanyaannya; apakah kita mau
hadapi atau tidak. ketidaktersediaan modal di tangan tak serta merta menyurutkan
niat untuk berusaha. "Tak punya modal", hanya alasan, karena kini makin terbuka
lebar peluang dan kesempatan bagi yang ingin berbisnis tanpa mengeluarkan modal
besar.
Salahsatunya dengan bergabung dalam Detalase sebagai kiat mantap hadapi Industry 4.0.
Bahkan model bisnis Detalase memungkin kita mengalami apa yang kini sering disebut financial freedom (kebebasan finansial). Kondisi di mana kita tak perlu ngoyo dalam bekerja, istilah kakek dan nenek dulu. Karena dengan pilihan alat yang tepat dan pengetahuan yang mumpuni, penghasilan mengalir lancar meski kita sedang duduk santai atau berbaring istirahat di rumah.
Tapi duduk bukan sembarang duduk. Tidur-tiduran, namun notifikasi tetap menyala. Kita duduk sambil mengunggah produk. Kita leyeh-leyeh sambil pelajari data perkembangan bisnis. Kita melakukan online marketing, diselingi ngopi-ngopi cantik di sebelah anak dan istri. Kita jemput rejeki tanpa mengorbankan waktu panjang meninggalkan keluarga tercinta. Aih, suasana inilah yang kudambakan dalam hidup.
Tak lupa Bang Agus juga menyemangati seluruh peserta konferensi, bahwa jika dia saja bisa maka semua juga bisa. Karena yang membedakan usaha yang sudah berjalan dengan yang baru sebatas niat adalah langkah pertama yang untuk sebagian dirasa berat.
"Saya pertamakali mau jualan, register-nya di mana? Dapat barang dari mana? Modal dari mana? Terlalu banyak pertanyaan," bebernya. Jadi, mulai saja dulu, pesan Bang Agus. Sekali lagi, sepakat, Bang. Kita mulai dengan Detalase.
Pedagang Melek Data
Kini
kita dapat berjualan tanpa perlu memiliki toko fisik. Bahkan sekarang kita bisa
berjualan tanpa harus memilki barang yang kita jual. Semua karena kemudahan
yang disediakan oleh teknologi internet. Literasi ekonomi digital kerap
digaungkan pemerintah, namun masih banyak pelaku bisnis khususnya UMKM dan UKM
yang masih setia di zona nyaman. Sudah enjoy
dan menganggap cukup menjalani bisnis seperti biasanya.
Kalaupun
akhirnya mereka hijrah ke ranah digital, menjual barang di online tidak berhenti di tahapan mengunggah foto produk, membubuhi caption, dan memasang nomor rekening.
Kita masih perlu menjalankan pemasaran khas di jagat maya.
Kalau
kita kulik lebih dalam, ada potensi yang belum banyak didongkrak para pegiat
ekonomi digital. Potensi itu bernama DATA. Buah dari Internet of Things adalah
ketersediaan data besar (big data) yang bisa dimanfaatkan untuk berbagai
kebutuhan dengan peluang lebih luas lagi. Meski tidak harus ahli, pedagang kini
memang harus melek data. Tidak main-main, data sering disebut-sebut sebagai
‘mata uang baru’ saking berharganya.
Hal senada
disampaikan narasumber utama konferensi, Penanggung Jawab Academic Fair GeTI,
Oi Wicaksono. Begitu pengguna memasang aplikasi atau mengakses situs e-commerce lalu berinteraksi, behaviour sudah otomatis terbaca
menjadi recorded data. Akumulasi intraksi ini yang kemudian mengubah data
menjadi value. Data yang kaya ini
bisa kita pelajari untuk berbagai keperluan penguatan bisnis.
“Jadi
tidak sekadar omzet yang kita tangkap, ada recorded
data yang menjadi bahan informasi selanjutnya,” tandas Pak Oi.
Misal,
dari data kita bisa ketahui penjualan tertinggi ada di bulan ke sekian. Lewat
data, kita dapat klasifikasi konsumen berdasarkan usia, profesi, dan demografi.
Informasi seperti inilah yang menjadi bahan acuan dalam menentukan strategi bisnis.
Mirip dengan info statistik yang biasa kita temui di fitur dashboard blog. Jadi, ketersediaan data sebenarnya merupakan value terbesar yang harus kita manfaatkan di era industri 4.0.
Pak
Oi lalu membagi tips dalam beriklan di internet. Orang sering menganggap
masalah selesai jika sudah pasang iklan di Google. Perlu diperhatikan, karakter
orang yang menggunakan mesin pencari Google adalah mereka yang memang sedang mencari
dan butuh.
Jadi ketika orang mencari jas pengantin, itu artinya sebentar lagi
ia akan menikah. Begitu memperoleh apa yang dibutuhkan, dia akan langsung melakukan
proses pembelian Boleh jadi konsumen
yang mencari produk lewat mesin pencarian Google, tidak akrab dengan media
sosial.
Pak Oi
sarankan kita mulai perhatikan potensi beriklan di media sosial karena konsumen
potensial lebih banyak bertengger di sana. Saya pun coba membuktikan, dan
memang benar adanya. Media-media sosial memiliki fitur yang ramah pengiklan. Facebook punya fitur-fitur yang mendukung riset target konsumen. Facebook
Search Graph bisa dimanfaatkan untuk mengetahui minat dari orang-orang yang
menyukai halaman tertentu.
Misal, jika kita ingin tahu konten apa saja yang
disukai para penyuka halaman Tokopedia, kita bisa search dengan kata kunci: “Post liked by people who liked Tokopedia”. Untuk memperluas hasil, kata post bisa diganti objek pencarian lain, contoh: interests, pages, atau groups. Masih banyak fitur
lain dari Facebook yang ternyata saya sendiri pun baru ngeh bisa membantu kita melakukan riset pasar.
Ini
baru sekelumit pembekalan yang akan dibagikan GeTI kepada para wirausaha yang siap hadapi Indonesia 4.0. Jadi, onlinepreneur
tidak hanya soal penjualan daring
namun mencakup berbagai aspek yang dibutuhkan dalam menghadapi era industri
hari ini. GeTI adalah lembaga pendidikan informal - inkubator yang membangun ekosistem pengembangan usaha. Pengembangan yang diberikan meliputi peningkatan kemampuan digital marketing, infrastruktur pendukung usaha seperti barang/ produk, pengetahuan ekspor, hingga membuka jalur-jalur cepat pertemuan dengan buyer internasional.
Pak
Oi ungkapkan, tidak hanya berikan pelatihan dan inkubasi bagi wirausahawan, yang
lebih utama, GeTI mendorong perubahan pola pikir pelaku UKM dari pola pikir B2C
(Business to Customer) menjadi pola
pikir B2B (Business to Business). Ekosistem inilah yang tercipta dalam Detalase, para dropshipper memperluas jaringan dan berinteraksi dengan suplier internasional.
Dengan begitu,
potensi yang ingin dipacu di Indonesia, seperti disampaikan Menteri Perindustrian
Airlangga Hartarto, yakni empowering human talents, akan lebih cepat terwujud. Karena kunci keberhasilan menghadapi
Industri 4.0. adalah Sumber Daya Manusia, Teknologi, dan Inovasi.
Sumber Daya Alam bisa suatu saat habis, tapi sumber daya insani akan terus lestari. Apalagi jika potensinya dikelola dengan baik dan benar. Tak heran, Presiden RI ke-3, Bapak Teknologi Indonesia, Bacharuddin Jusuf Habibie, di berbagai kesempatan selalu mengingatkan pentingnya prioritaskan sumber daya manusia yang berkualitas.
Bahkan
Jepang sudah memulai "Society
5.0". Suatu konsep masyarakat yang
berpusat pada manusia (human-centered) meski berbasis teknologi (technology
based). Transformasi ini akan membantu manusia
untuk menjalani kehidupan yang lebih bermakna. Sebuah revolusi yang memberikan
kearifan baru. Teknologi boleh tinggi tapi kendali tetap di tangan manusia lewat literasi digital yang tersedia, salahsatunya dari inisiatif GeTI.
Alat bisnis telah kudapat, karena sudah mendaftar sebagai dropshipper di Detalase. Pun sekarang kutahu ke mana harus menuju, agar senantiasa update dan meningkatan kapasitas diri sebagai pegiat ekonomi digital. Aku silaturahim ke GeTI.
Syukurlah, kini kupunya bekal untuk dibawa pulang dan sampaikan kabar baik ini kepada kakak. Bahwa bersama kesulitan selalu beriring kemudahan. Perkembangan ekonomi digital membuka peluang dan kesempatan luas bagi yang mau. Era disrupsi justru memunculkan profesi baru dan jenis usaha potensial. Kakak kusarankan (dengan solusi tentunya) mulai beraktivitas di Detalase dan berjaring bersama GeTI.
Apalagi sebelumnya kakak juga sempat menjalankan bisnis rumahan. Maka langkah ini dapat disebut momentum refresh. Baiklah, Kbebasan finansial sudah terbentang di depan mata. Pilihan ada di tiap insan yang berupaya. Let's seize the moment. Semoga yang terbaik untuk kita semua. Yakin usaha sampai. Tabik.
Komentar
Posting Komentar