Duduk Dan Leyeh-Leyeh Dapat Hasil? Bisa!

detalase financial freedom

Belum genap 40 hari suaminya pergi, kakakku makin gelisah. Tetiba harus menjadi tulang punggung tak terpikirkan sama sekali di benak sebelumnya. Apa yang harus kulakukan selanjutnya?  Apa yang bisa kuupayakan ke depannya? Ia memang tidak bertanya. Tapi tak sulit membaca raut wajah dan gestur orang yang mendadak kehilangan sandarannya.



Saran Belum Solusi

Kakak mulai mengumpulkan salinan dokumen syarat-syarat untuk melamar kerja. Ia bongkar lagi penyimpanan arsip lama bukti tanda lulus belajar di sekolah. Kakak jadi sering menelusuri jagat maya, mengais berbagai informasi lowongan posisi apa saja yang sekira cocok dengan kualifikasinya. 

Namun, sandungan kerap ditemui ketika kita baca daftar syarat yang diajukan di tiap iklan tersebut. Semua Perusahaan menginginkan pelamar yang sudah berpengalaman. Belum lagi bila mereka menetapkan batasan usia. Kendati demikian, kakakku tetap ajukan permohonan-permohonan, memastikan doa dan usaha  telah dilakukan

Sudah banyak sanak saudara gulirkan gagasan demi gagasan. Sudah sering kerabat dekat tandaskan referensi dan panduan. Kamu jualan saja. Bagaimana kalau kamu buka usaha? Dagang makanan saja, kudapan ini lagi hits, lho. Sungguh ide yang cemerlang. 

Namun, sampai artikel ini dituliskan, belum ada yang memberikan saran sekaligus menyertakan modal untuk kakak. Belum ada yang sodorkan solusi.

Aku ingin menolongnya. Sangat ingin membantunya. Apalagi bila menemui anak-anaknya yang masih kecil dan sangat membutuhkan sosok ayah. Tapi apa daya, aku pun sedang berjuang menuju apa yang disebut mapan bagi sebagian orang. Aku juga masih mencari apa yang kupikir paling tepat kugeluti sesuai minat. Hingga kuberkesempatan mengikuti Blogger Conference GeTI: “Kesiapan Generasi Milenial Menghadapi Making  Indonesia 4.0”, Slipi, Jakarta (19/1/19).


Jualan Tanpa Modal

Dalam konferensi tersebut, aku bertemu beberapa pembicara termasuk sosok inspiratif  yang meredakan seliweran gundah kami di kepala. Jawaban untuk kebimbangan kakakku selama ini. Namanya Agustjik Haris.     
    
Tidak menempuh jenjang kuliah, dan hanya berlatar belakang sales, Bang Agus mampu membuka sumber penghasilan lain di kehidupan ekonominya. Didorong kebutuhan mencari tambahan pendapatan di luar kerja sebagai karyawan, ia membuka toko online. Uniknya, ia bisa berdagang tanpa perlu modal besar. Cukup koneksi internet dan ketekunan. 

Sekarang, omzet dari toko yang sudah berjalan selama 2 tahun ini mencapai puluhan juta. Untung ia raih tanpa mengganggu aktivitas utamanya di perusahaan. Bang Agus leluasa kelola bisnis sampingannya, karena fleksibilitas yang tersedia dalam jenis usaha yang digelutinya ini. Ia berdagang tanpa perlu memiliki produk, tempat penyimpanan ,dan tidak repot dalam pengiriman. Semua sudah ada yang atur.   

Yang ia lakukan hanyalah menghubungkan produsen, pemilik produk atau suplier dengan pembeli lewat toko online yang dimilikinya. Bang Agus pun bebas menambah ragam produk jualannya di toko kapanpun dia mau. Usaha ini dikenal dengan istilah dropship. Begitu saja, kita cukup jadi penyambung? Tunggu dulu, kita masih butuh tools-nya. 


Bang Agus menggunakan platform Detalase dalam menjalankan bisnisnya itu. Detalase merupakan situs dropship yang membangun Onlinepreneur di Indonesia dengan menyediakan produk, jasa logistik, metode pembayaran yang aman, dan customer service yang responsif. Sehingga, siapapun bisa berjualan secara online dengan mudah, gratis, dan tanpa harus punya stok barang.

Kelebihan Detalase antara lain; tak perlu instal aplikasi yang memakan kuota, menyediakan jutaan varian produk siap jual, dan barang langsung dikirim ke pembeli oleh perusahan logistik andal. Selain itu, kita tak perlu pusing soal pajak, karena Detalase memiliki izin impor dan ekspor resmi serta mengurus proses bea cukai di Indonesia. 

Yang juga penting, semua transaksi di Detalase sangat aman, karena sistem pembayaran otomatis tanpa perlu konfirmasi dan menjamin refund 100%. Pendek kata, Detalase berikan semua keleluasaan berbisnis kepada semua anggota yang bergabung. 


Bang Agus lalu ungkapkan pengalaman merintis usaha terutama tantangan melewati tiga bulan pertama. “Sulitnya minta ampun, tidak ada yang beli. Gua bisa jualan gak sih?” kenangnya.   

Lambat laun, perlahan tapi yakin, seiring waktu dan ketekunan, usahanya pun berkembang. Bang Agus mengaku sudah menjalankan berbagai strategi bisnis untuk menggenjot penjualan. Namun, menurutnya, tidak ada teori baku dalam menjalankan bisnis. Tiap pengusaha punya tantangan yang berbeda-beda. Teori yang ajarkan atau buku yang dibaca hanyalah referensi.    

Contoh, banyak yang berjualan jenis produk sama, sedangkan Bang Agus bandroli harga paling mahal tapi tetap laku. Di sini Bang Agus ingatkan, yang penting bagaimana kita memberikan value ke pasar. Kunci ini baru bisa  ditemukan jika sudah bergulat di dalamnya. Inilah hikmah dari learning by doingJalani yang kita tahu, maka kita akan mendapat pengetahuan lainnya di tengah perjalanan.

“Hal-hal seperti ini yang bisa kita alami saat kita sudah terjun sendiri dalam bisnisnya,” sebutnya.  

Jadi, menurut Bang Agus, yang paling tahu keunggulan dan bagaimana eksekusi bisnisnya adalah si pemilik usaha itu sendiri. Bahkan, dia analogikan, jika ada dua gerai kopi brand sama bersebelahan di satu mal, penghasilannya pun akan berbeda satu sama lain. Baik dari sisi traffic pengunjung, hingga hasil penjualan, meski harga sama dan dekorasi gerai mirip. Hal demikian menandakan, semua orang bisa melakukan, dan bisa meraih value-nya masing-masing.  

Ia lalu mengutip ungkapan ciamik "If you want to do something, you will find away. But it you dont want to do something, you will find excuse." Setuju. Padahal kita juga sudah lama akrab dengan wejangan: "Di mana ada kemauan, di situ ada jalan". 

Bang Agus kini memiliki 5 toko. Salahsatunya ia menjual madu impor. Meski mahal namun produknya laku karena ia mengedepankan kualitas. Produk impor dia pilih karena persaingan belum ketat.

“Saya mencari barang yang lebih luas kesempatannya. Makanya saya jual yang impor,” akunya. Bang Agus juga punya toko yang menyediakan produk-produk lokal.

Jadi lewat pengalaman yang dibagi Bang Agus, kita dapati bahwa tidak ada yang namanya kesulitan, yang ada adalah tantangan. Pertanyaannya; apakah kita mau hadapi atau tidak. ketidaktersediaan modal di tangan tak serta merta menyurutkan niat untuk berusaha. "Tak punya modal", hanya alasan, karena kini makin terbuka lebar peluang dan kesempatan bagi yang ingin berbisnis tanpa mengeluarkan modal besar. 

Salahsatunya dengan bergabung dalam Detalase sebagai kiat mantap hadapi Industry 4.0.  Bahkan model bisnis Detalase memungkin kita mengalami apa yang kini sering disebut financial freedom (kebebasan finansial). Kondisi di mana kita tak perlu ngoyo dalam bekerja, istilah kakek dan nenek dulu. Karena dengan pilihan alat yang tepat dan pengetahuan yang mumpuni, penghasilan mengalir lancar meski kita sedang duduk santai  atau berbaring istirahat di rumah. 

Tapi duduk bukan sembarang duduk. Tidur-tiduran, namun notifikasi tetap menyala. Kita duduk sambil mengunggah produk. Kita leyeh-leyeh sambil pelajari data perkembangan bisnis. Kita melakukan online marketing, diselingi ngopi-ngopi cantik di sebelah anak dan istri. Kita jemput rejeki tanpa mengorbankan waktu panjang meninggalkan keluarga tercinta. Aih, suasana inilah yang kudambakan dalam hidup.  

Tak lupa Bang Agus juga menyemangati seluruh peserta konferensi, bahwa jika dia saja bisa maka semua juga bisa. Karena yang membedakan usaha yang sudah berjalan dengan yang baru sebatas niat adalah langkah pertama yang untuk sebagian dirasa berat. 

"Saya pertamakali mau jualan, register-nya di mana?  Dapat barang dari mana? Modal dari mana? Terlalu banyak pertanyaan," bebernya. Jadi, mulai saja dulu, pesan Bang Agus. Sekali lagi, sepakat, Bang. Kita mulai dengan Detalase.

Blogger Conference


Pedagang Melek Data

Kini kita dapat berjualan tanpa perlu memiliki toko fisik. Bahkan sekarang kita bisa berjualan tanpa harus memilki barang yang kita jual. Semua karena kemudahan yang disediakan oleh teknologi internet. Literasi ekonomi digital kerap digaungkan pemerintah, namun masih banyak pelaku bisnis khususnya UMKM dan UKM yang masih setia di zona nyaman. Sudah enjoy dan menganggap cukup menjalani bisnis seperti biasanya.

Kalaupun akhirnya mereka hijrah ke ranah digital, menjual barang di online tidak berhenti di tahapan mengunggah foto produk, membubuhi caption, dan memasang nomor rekening. Kita masih perlu menjalankan pemasaran khas di jagat maya.

Kalau kita kulik lebih dalam, ada potensi yang belum banyak didongkrak para pegiat ekonomi digital. Potensi itu bernama DATA. Buah dari Internet of Things adalah ketersediaan data besar (big data) yang bisa dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan dengan peluang lebih luas lagi. Meski tidak harus ahli, pedagang kini memang harus melek data. Tidak main-main, data sering disebut-sebut sebagai ‘mata uang baru’ saking berharganya.

Hal senada disampaikan narasumber utama konferensi, Penanggung Jawab Academic Fair GeTI, Oi Wicaksono. Begitu pengguna memasang aplikasi atau mengakses situs e-commerce lalu berinteraksi, behaviour sudah otomatis terbaca menjadi recorded data. Akumulasi intraksi ini yang kemudian mengubah data menjadi value. Data yang kaya ini bisa kita pelajari untuk berbagai keperluan penguatan bisnis.

“Jadi tidak sekadar omzet yang kita tangkap, ada recorded data yang menjadi bahan informasi selanjutnya,” tandas Pak Oi.

Misal, dari data kita bisa ketahui penjualan tertinggi ada di bulan ke sekian. Lewat data, kita dapat klasifikasi konsumen berdasarkan usia, profesi, dan demografi. Informasi seperti inilah yang menjadi bahan acuan dalam menentukan strategi bisnis. Mirip dengan info statistik yang biasa kita temui di fitur dashboard blog. Jadi, ketersediaan data sebenarnya merupakan value terbesar yang harus kita manfaatkan di era industri 4.0.

Pak Oi lalu membagi tips dalam beriklan di internet. Orang sering menganggap masalah selesai jika sudah pasang iklan di Google. Perlu diperhatikan, karakter orang yang menggunakan mesin pencari Google adalah mereka yang memang sedang mencari dan butuh. 

Jadi ketika orang mencari jas pengantin, itu artinya sebentar lagi ia akan menikah. Begitu memperoleh apa yang dibutuhkan, dia akan langsung melakukan proses pembelian Boleh jadi konsumen yang mencari produk lewat mesin pencarian Google, tidak akrab dengan media sosial.

Pak Oi sarankan kita mulai perhatikan potensi beriklan di media sosial karena konsumen potensial lebih banyak bertengger di sana. Saya pun coba membuktikan, dan memang benar adanya. Media-media sosial memiliki fitur yang ramah pengiklan. Facebook punya fitur-fitur yang mendukung riset target konsumen. Facebook Search Graph bisa dimanfaatkan untuk mengetahui minat dari orang-orang yang menyukai halaman tertentu. 

Misal, jika kita ingin tahu konten apa saja yang disukai para penyuka halaman Tokopedia, kita bisa search dengan kata kunci: “Post liked by people who liked Tokopedia”. Untuk memperluas hasil, kata post bisa diganti objek pencarian lain, contoh: interests, pages, atau groups. Masih banyak fitur lain dari Facebook yang ternyata saya sendiri pun baru ngeh bisa membantu kita melakukan riset pasar.

Ini baru sekelumit pembekalan yang akan dibagikan GeTI kepada para wirausaha yang siap hadapi Indonesia 4.0. Jadi, onlinepreneur tidak hanya soal penjualan daring namun mencakup berbagai aspek yang dibutuhkan dalam menghadapi era industri hari ini. GeTI  adalah lembaga pendidikan informal - inkubator yang membangun ekosistem pengembangan usaha. Pengembangan yang diberikan meliputi peningkatan kemampuan digital marketing, infrastruktur  pendukung usaha seperti barang/ produk, pengetahuan ekspor, hingga  membuka  jalur-jalur cepat pertemuan dengan buyer internasional.   


Pak Oi ungkapkan, tidak hanya berikan pelatihan dan inkubasi bagi wirausahawan, yang lebih utama, GeTI mendorong perubahan pola pikir pelaku UKM dari pola pikir B2C (Business to Customer) menjadi pola pikir B2B (Business to Business). Ekosistem inilah yang tercipta dalam Detalase, para dropshipper memperluas jaringan dan berinteraksi dengan suplier internasional. 

Dengan begitu, potensi yang ingin dipacu di Indonesia, seperti disampaikan Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto, yakni empowering human talents, akan lebih cepat  terwujud. Karena kunci keberhasilan menghadapi Industri 4.0. adalah Sumber Daya Manusia, Teknologi, dan Inovasi. 

Sumber Daya Alam bisa suatu saat habis, tapi sumber daya insani akan terus lestari. Apalagi jika potensinya dikelola dengan baik dan benar. Tak heran, Presiden RI ke-3, Bapak Teknologi Indonesia, Bacharuddin Jusuf Habibie, di berbagai kesempatan selalu mengingatkan pentingnya prioritaskan sumber daya manusia yang berkualitas.

Bahkan Jepang sudah memulai "Society 5.0". Suatu konsep masyarakat yang berpusat pada manusia (human-centered) meski berbasis teknologi (technology based). Transformasi ini akan membantu manusia untuk menjalani kehidupan yang lebih bermakna. Sebuah revolusi yang memberikan kearifan baru. Teknologi boleh tinggi tapi kendali tetap di tangan manusia lewat literasi digital yang tersedia, salahsatunya dari inisiatif GeTI.   

Alat bisnis telah kudapat, karena sudah mendaftar sebagai dropshipper di Detalase. Pun sekarang kutahu ke mana harus menuju, agar senantiasa update dan meningkatan kapasitas diri sebagai pegiat ekonomi digital. Aku silaturahim ke GeTI.     

Syukurlah, kini kupunya bekal untuk dibawa pulang dan sampaikan kabar baik ini kepada kakak. Bahwa bersama kesulitan selalu beriring kemudahan. Perkembangan ekonomi digital membuka peluang dan kesempatan luas bagi yang mau. Era disrupsi justru memunculkan profesi baru dan jenis usaha potensial. Kakak kusarankan (dengan solusi tentunya) mulai beraktivitas di Detalase dan berjaring bersama GeTI. 

Apalagi sebelumnya kakak juga sempat menjalankan bisnis rumahan. Maka langkah ini dapat disebut momentum refresh. Baiklah, Kbebasan finansial sudah terbentang di depan mata. Pilihan ada di tiap insan yang berupaya. Let's seize the moment. Semoga yang terbaik untuk kita semua. Yakin usaha sampai. Tabik


Komentar