Antara Bahasa Baku dan Kebebasan Sastra



bincang-bincang kebangsaan badan bahasa republik indonesia


Karakter John Keating dalam film Dead Poet Society (1989) jadi inspirasi guru yang ingin menciptakan suasana belajar menyenangkan di kelas. Guru bahasa Inggris yang diperankan Robin Williams ini diceritakan sebagai pengajar lentur yang tidak terpaku pada kurikulum pendidikan.

Yang Ajeg dan Yang Lentur

Ada adegan tak terlupakan di mana John Keating mengajak para murid merobek halaman-halaman buku teks dan mengajak mereka lepas dari kungkungan teori. Murid diajak keluar kelas dan melihat dunia luar. Carpe Diem! (Seize the Day!) jadi kutipan khas dari film yang juga diperankan aktor Ethan Hawke. Belajar sastra bisa semenarik digambarkan film tersebut. Tapi ternyata tidak selalu demikian adanya di dunia nyata.         

Hal itu saya temukan dari curahan hati seorang guru Bahasa Indonesia dalam seminar bertajuk “Bincang-Bincang Kebangsaan dalam Perspektif Kebahasaan dan Kesastraan: Satu Dekade UU No. 24 Tahun 2009 dan Lanskap Kebahasaan dan Kesastraan Terkini”, Senin 21 Oktober 2019, Aula Gedung M. Tabrani, Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.   
  
Fahri, seorang guru Bahasa Indonesia di salah satu Sekolah Menengah Kejuruan di bilangan Jakarta Timur mengaku dilematis tiap kali mengajarkan Bahasa Indonesia. Ia mengajarkan tata bahasa di satu waktu, lalu mengajarkan sastra di kesempatan lain. Bahasa Indonesia diajarkan sesuai Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI). Sedangkan sastra tidak harus diajarkan dengan berpatokan pada kaidah Bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Jadi dua aspek pelajaran yang sama-sama berbasis Bahasa Indonesia ini tidak selalu bertemu dalam satu kajian yang sama. Yang pertama berlaku ajeg dan rigid, sedangkan yang kedua cenderung berlepas dan eksploratif. Misal, dalam prosa dan novel biasa kita temui paragraf yang hanya berisi satu kalimat saja. Ada puisi yang tersusun tanpa aturan ketat dari pemakaian huruf, penulisan kata, dan tanda baca lengkap. Meski ada juga kaidah yang diterapakan, misal, cetak miring untuk menandakan kata yang tidak baku. Namun, umumnya karya sastra tidak harus diciptakan dengan memperhatian gramatika.

Jadi seorang guru Bahasa Indonesia mengajarkan murid patuh terhadap kaidah kebahasaan yang berlaku sekaligus lentur berbahasa kala bersastra. Pertanyaannya kemudian, adakah batasan yang membedakan dalam pemberian pelajaran Bahasa Indonesia sesuai PUEBI dan pelajaran kesusastraan? Novelis peraih banyak penghargaan Ahmad Fuadi mengilustrasikan antara kaidah Bahasa Indonesia dan sastra sebagai proses berkesenian seorang pelukis dalam memilih aliran melukisnya.   

Satu Dekade UU No. 24 Tahun 2009 dan Lanskap Kebahasaan dan Kesastraan Terkini


Ibarat Pelukis Aliran Abstrak

Penulis ‘Negeri 5 Menara’ mengibaratkan seni lukis, pelajaran Bahasa Indonesia seperti pengetahuan anatomi, dan sastra sebagai pilihan-pilihan aliran. Untuk menjadi pelukis yang baik, seorang seniman harus membekali diri lebih dahulu dengan pengetahuan anatomi. Pelukis aliran abstrak yang baik adalah ia yang mengetahui anatomi dengan baik lalu dikembangkan dan ditarik menjadi sangat fleksibel.

Pun dalam sastra. Sebelum mentahbiskan diri sebagai sastrawan, seorang penulis harus menguasai Bahasa Indonesia untuk menguatkan struktur kebahasaannya. Seperti seniman yang belajar melukis anatomi dengan baik, kemudian mengambil aliran improvisasi yang abstrak. Maka, Ahmad Fuadi menganggap kedua pengetahuan ini perlu diajarakan karena saling menguatkan. Pengetahuan Bahasa Indonesia sebagai pijakan untuk pengembangannya di kesastraan.   

“Bahasa baku tetap perlu dipelajari agar punya struktur berpikir, setelah itu ada pembebasan di prosa dan puisi.” sebut Ahmad Fuadi.  

Literasi bahasa yang komprehensif ini sangat bermanfaat, salahsatunya ketika kita menikmati bahasa yang tertuang dalam karya sastra. Menurut Ahmad Fuadi, membaca karya sastra, dalam hal ini prosa atau novel, merupakan proses dialog mendalam antara pengarang dan pembaca. Novel memiliki peran strategis sebagai portal yang memungkinkan pembaca memasuki alam bawah sadar. Maka tak jarang banyak pembaca novel yang terbawa perasaan dan teraduk emosi. Apa yang memicu pembaca bisa ikut tertawa, menangis, dan marah bersama tokoh-tokoh fiksi?

“Proses itu terjadi karena pembaca melakukan dengan suka rela. Tidak mungkin baca buku 400 halaman kalau tidak suka rela. Proses ini membuat orang begitu akrab dengan bacaannya sehingga masuk ke kepala sampai ke hati,” pungkas penulis “Merdeka Sejak Hati”, novel tentang pendiri Himpunan Mahasiswa islam, Lafran Pane.