Yusril Ihza Mahendra: Aturan Mengenai Penjabat (Pj) Tidak Detail

 

Webinar Nasional CIDES ICMI dan Dewan Pakar ICMI Pusat “Plt Kepala Daerah Serentak, Perspektif Reformasi Demokrasi untuk Masyarakat Madani",
(foto: RMOL)

Rekan pembaca, setidaknya selama dua tahun (2022-2023), ada sekitar 272 kepala daerah yang jabatannya digantikan Pelaksana Tugas (Plt) atau Penjabat (Pj), hingga pelaksanaan pemilu serentak pada November 2024. 

  

DItunjuk Presiden dan Mendagri 

Di 2022, sebanyak 101 kepala daerah yang habis masa jabatannya dari hasil pilkada 2017. Di 2023, dari hasil pilkada 2018, sebanyak 171 kepala daerah yang akan habis masa jabatannya. Belum lagi kita menyebut jumlah PJ dan Plt yang akan menggantikan kepala daerah hasil pilkada 2020, di mana masa jabatannya akan berakhir pada awal 2024.   

Penunjukkan penjabat oleh Presiden dan Mendagri tanpa melalui proses pemilihan ini menimbulkan problema dalam kehidupan demokrasi. Penunjukkan Plt atau Pj dianggap menjadi solusi dalam mengisi kekosongan kepemimpinan kepala daerah selama menunggu pilkada berikutnya. Selain masa jabatan sudah habis, ada sebagian kepala daerah mengalami perpendekan masa jabatan menjadi empat tahun.    

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Pasal 201 menyebutkan, pengisian kekosongan kepala daerah ditunjuk penjabat daerah di tingkat gubernur oleh presiden, dan pada tingkat bupati dan walikota oleh menteri dalam negeri. Namun, Advokat dan Pakar Hukum Administrasi Negara Yusril Ihza Mahendra menyampaikan, ada semacam kevakuman hukum terkait prosedur, tata cara, dan syarat penunjukkan penjabat kepala daerah.  

Pertanyaannya, apakah penunjukan tersebut berjalan demokratis sesuai arahan Mahkamah Konstitusi (MK)? Yakni sesuai pertimbangan hukum putusan MK Nomor 15 Tahun 2022, bahwa penunjukkan kepala daerah dilaksanakan secara demokratis, mengacu pada Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945,  

Tapi bagaimana bisa demokratis, kalau dalam prosesnya dia ditunjuk oleh presiden dan menteri dalam negeri. Meski ada kriteria pejabat pada level tertentu yang bisa menjadi gubernur, bupati, dan walikota. Penunjukan penjabat ini legal dilihat dari segi hukum, karena ada dasar hukum, baik dalam putusan Mahkamah Konstitusi maupun di Pasal 201 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016. 


Rawan Penyalahgunaan Kewenangan 

Kriteria penjabat termaktub dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 35 Tahun 2013 tentang tata cara pelantikan kepala daerah. Penjabat kepala daerah dikatakan adalah pejabat yang memang ditunjuk untuk melaksanakan tugas-tugas kepala daerah dalam hal terjadi kekosongan kepala daerah. Kendati demikian, belum ada pengaturan yang spesifik terkait pelaksana tugas. 

“Tapi detail-detail pengaturannya tidak kita temukan. Inilah yang menimbulkan banyak masalah. Beberapa kepala daerah dilantik Menteri Dalam Negeri, sementara pengaturannya masih jauh dari memadai, dan proses itu berlanjut sampai sekarang”, beber Yusril dalam Webinar Nasional CIDES ICMI dan Dewan Pakar ICMI Pusat “Plt Kepala Daerah Serentak, Perspektif Reformasi Demokrasi untuk Masyarakat Madani", Selasa, 15 November 2022. 

Jadi tak heran bila ada dirjen merangkap jabatan sebagai penjabat gubernur. Selain sibuk sebagai dirjen, dia juga beraktivitas sebagai gubernur. Jabatan dirjen tidak bisa dilepas, karena dia akan kehilangan dasar menjadi penjabat gubernur. Hal ini menimbulkan masalah, mengingat lebih dari separuh kepala daerah statusnya adalah penjabat. Secara politis, kondisi tersebut bisa dimanfaatkan banyak pihak, khususnya menyongsong pemilu mendatang. 

Memang ada tujuh larangan yang tidak boleh dilakukan oleh pejabat, antara lain mutasi, serta membatalkan izin dan kebijakan yang dibuat pejabat sebelumnya, sebut Yusril. Tapi, larangan tersebut bisa tak berlaku jika mendapat persetujuan menteri dalam negeri. Di sinilah, lanjut Yusril, terbuka celah penyalahgunaan kewenangan. 

Webinar Nasional CIDES ICMI dan Dewan Pakar ICMI Pusat juga menghadirkan Wakil Ketua Umum ICMI Priyo Budi Santoso, Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia Tandjung, dan Ketua Presidium/Presidium ICMI 2005-2015 Nanat Fatah Natsir.  

 

Komentar