Ungkapan
“guru tidak boleh menggurui” dalam proses belajar-mengajar kerap terlontar
hampir di tiap forum yang mengupas pendidikan. Menurut Aktivis Pendidikan Habe
Arifin, ungkapan tersebut justru mendekontruksi peran dan sosok guru sehingga
perlu ditinjau.
Didik Lewat Keteladanan
Hal ini disampaikan dalam peluncuran buku ‘Mindset Pembelaran: 10 langkah mendidik siswa secara kreatif dan humanis’ karya Yusron Aminulloh di ICMI Center, Jakarta. (21/7).
“Sebut saja guru tidak boleh mendoktrin,
atau tidak boleh monoton dalam menyampaikan pelajaran. Tapi jangan disebut
‘tidak boleh menggurui’. Karena artinya ini dekonstruksi terhadap sosok, fungsi
dan paradigma guru," jelas Sekretaris Konsorsium Sepeda Sekolah Indonesia.
Jadi sosok guru akan tetap kita jaga kecuali memang guru
itu kemudian meruntuhkan profesi dan kewibawaanya sendiri.
Hal tersebut diamini pengurus ICMI Pusat
bidang Pemberdayaan Anak dan Remaja, Yudhistira ANM Massardi.
“Hanya guru yang
boleh menggurui. Guru harus menggurui, kalau dia tidak menggurui, jangan jadi
guru. Jadi tolong kembalikan kata ini kepada yang seharusnya. Ini kita
diskusikan supaya guru tidak alergi terhadap kata itu,” ujar Pengelola Sekolah
Gratis untuk Dhuafa, TK-SD Batutis Al-Ilmi Bekasi.
Pembahas lainnya, Dety Anggraeni
mengatakan, guru bisa mendidik mulai dari hal-hal kecil yang dicontohkan. Misal
soal penampilan sang guru.
“Guru perempuan di sekolah kami berjilbab semua dan
tidak sengaja memakai model jilbab sama. Tahun kemarin
dimulai siswi kelas V, mereka pakai jilbab mirip kita. Semua sisiwi mengikuti
mulai kelas I sampai VI, yang awalnya pakai jilbab kaos saja," tandas kepala Sekolah Dasar Islam Sabilina.
Itu baru satu keteladanan kecil. Apalagi bicara attitude guru. Untuk sekolah dasar, orang
tua menempatkan anak-anaknya di sekolah dengan guru-guru yang punya karakter
yang kuat.
kemudian Dety
membuka satu bab di buku tersebut tentang makna sebuah kata dan kalimat.
Bagaimana kalimat negatif bisa dicarikan solusi dengan pengganti kata dan
kalimat yang tepat dalam berkomunikasi dengan murid. Ini menjadi tantangan
tersendiri bagi guru.
“Ketika kita bilang ‘jangan lari!', si anak sudah lari. Benar-benar
butuh jam terbang untuk melatih makna sebuah kata dan kalimat. Agak sulit tapi insya Allah bisa
dilatih,” imbuhnya.
Kesimpulannya,
memperbanyak pertanyaan bukan pernyataan.
“Jadi ketika ada anak numpahin sirup
di lantai, tidak langsung kita mengatakan ‘bersihkan dengan lap!’. Tapi bertanya; ‘bagaimana sebaiknya?’ Jadi
lebih pada anak berpikir kritis. Kita berusaha dengan ungkapan yang menjadikan
anak kritis, kreatif dan punya inisiatif yang tinggi ke depannya,” pungkasnya.
Buku karya
Pengurus Pusat ICMI Anggota Departemen Pemberdayaan Anak dan Remaja ini
merupakan himpunan pengalaman penulis selama melakukan pelatihan ‘Menebar
Energi Positif’ ke seluruh Indonesia juga dari peristiwa sehari-hari. Hadir
juga dalam peluncuran buku itu Presidium ICMI, Marwah Daud Ibrahim.
Lewat
buku yang berisi pengalaman ini, diharapkan dapat aplikatif diterapkan oleh
para guru se-Indonesia. Tidak melulu teoritis, pengajaran merupakan ikhtiar
yang menyeluruh tentang bagaimana guru mengajarkan anak didik dengan sebaik-baiknya.
Sekali lagi, teladan tetap menjadi aspek yang speak louder than word. Anak- anak akan memiliki suri teladan atau
role model yang selalu tertanam dalam benak hingga mereka dewasa nanti. Begitu
mendalam dan berkesan teladan guru bagi mereka hingga dapat menurunkan kembali
nilai-nilai yang telah diajarkan tersebut kepada ana-anak mereka. Maka jejak
upaya pengajaran menjadi sesuatu yang abadi dan tak lekang oleh waktu , selalu
relevan dan yang terpenting menjadi amal ibadah yang pahala terus mengalir karena
senantiasa diamalkan