Jabatan Fungsional Penerjemah telah ditetapkan melalui Peraturan menteri Negara Pemberdayaan Aparatur Negara Nomor PER/24/M.PAN/5/2006 tahun 2006. Kementerian Sekretariat Negara ditetapkan sebagai Instansi
Pembina Jabatan Fungsional Penerjemah. Mengapa bukan di Badan Bahasa? Karena
menyangkut hal yang strategis. Demikian ungkap Guru Besar Linguistik
Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung, Cece Sobarna, dalam Seminar Nasional
tentang Linguistik: From the Initial Idea to the Translation Quality Assesment,
yang diselenggarakan Fakultas Adab dan Humaniora Jurusan Bahasa dan Sastra
Inggris, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (15/.10/14)
Pelestari Bahasa
Jabatan penerjemah tidak berada di bawah Badan Bahasa, karena menyangkut hal yang strategis. Ada pertimbangan politis.
"Kalau
penerjemahannya bebas tanpa melihat kondisi Indonesia, itu celaka. Ada pertimbangan
politis. Kalau ada buku yang memuat unsur-unsur negatif diterjemahkan begitu saja,
bisa menjadi hal yang menimbulkan masalah di kemudian hari di negeri ini ” jelasnya.
Jadi ambillah bagian yang sangat strategis dan bermanfaat bagi khalayak, supaya bisa terpantau bagaimana hasil
terjemahan yang dibuat orang Indonesia. Karena profesi
penerjemahan sudah diapresiasi pemerintah, Cece mengimbau para peminat agar
tidak ragu memilih konsentrasi ini. “Jadi, bagi Anda yang akan memilih
konsentrasi ini, jangan ragu lagi. Sebab, di dalamnya tentu sangat menarik yang
berkaitan dengan penerjemahan,” imbuhnya.
Salahsatunya, proses penerjemahan termasuk upaya melestarikan Bahasa Indonesia. Cece berikan tips, kalau sudah tidak ada dalam Bahasa Indonesia, kita mencari dalam Bahasa Indonesia Lama. Kalau tidak ada juga, kita cari pada Bahasa Daerah.
"Kata sophisticated
tidak ada dalam padanan Bahasa Indonesia, yang tersedia dalam Bahasa Minangkabau,
muncullah padanannya: canggih. Dalam Bahasa Inggris, kata sick, ill,
dan pain, dalam Bahasa Indonesia hanya tersedia kata: sakit. Padahal
antara sick dan pain berbeda. Dicari dalam Bahasa Indonesia dan Melayu tidak ada. Ditemukanlah
dalam Bahasa Sunda, yaitu nyeri untuk pain," bebernya
Pandai Cari Celah
Cece, yang membawakan materi: Linguistik dan Ancangan Metode Penelitiannya, membagikan tips bagi mahasiswa yang sedang galau mencari judul untuk bahan penelitiannya.
"Bagi Anda yang masih
galau tentang judul, Anda harus melihat sumber masalah ada di
mana, bisa dari bahan bacaan utama seperti buku, jurnal, juga mengikuti seminar-seminar. Karena tidak diperbolehkan meneliti hal yang sama, kecuali kurun waktu dan pendekatan yang berbeda, " tuturnya.
Jadi, lanjut Cece, mahasiswa harus pandai mencari celah apa yang harus ditemukan. Gap apa yang mesti diungkap
bahwa penelitian itu penting dilakukan. Untuk menemukan
sesuatu yang dapat kita teliti, tidak cukup hanya membaca buku, tapi harus
bereksplorasi dan mempraktekkannya.
"Kalau kita akan meneliti hal
yang berkaitan dengan musik, titik tolaknya dua pertimbangan, yang berkaitan dengan personal atau sosial," imbuh Cece.
Pertimbangan sosial maksudnya mengandung solusi yang
harus diselesaikan bersama. Apa yang ingin dicapai ketika si penyusun selesai
studi nanti. Kalau Cece cenderung permasalahan itu disarankan dari yang
bersangkutan dulu. Kalau tidak ada, barangkali institusinya memberi pesan.
Tantangan
peneliti adalah mampu membangun kerangka konseptual yang singkat, jelas, dan
elegan. Di sini kesulitannya, tidak hanya bagi mahasiswa S1, juga S2 dan S3. Sekalipun yang bersangkutan piawai dan praktisi, tapi ketika mengangkatnya menjadi sesuatu yang ilmiah, belum tentu bisa diterima pembimbing. Jadi bagaimana, dong?
"Anda harus menyusun desain di mana orang percaya penelitian itu penting dilakukan dan menemukan hal menarik dan baru.
Kunci utama untuk S3 ialah harus menemukan hal
yang baru, meski sangat kecil," pungkasnya
Di sinilah peran keilmuan dalam kaitan linguistik. Sekalipun orang sudah banyak membahas, tapi ada celah-celah yang
bisa diungkap.
Penulis dan Penerjemah, Melody Violine, membagikan pengalaman menerjemahkan berbagai buku fiksi dan non-fiksi. Menurutnya, latarbelakang pendidikan formal bahasa bagi
seorang penerjemah tidak signifikan meski sangat membantu.
“Ada teman-teman
saya sesama penerjemah buku yang berlatarbelakang sangat berbeda dari saya. Ada
yang lulusan arsitektur, biologi, dan macam-macam. Untuk penerjemah buku,
latarbelakang pendidikan tidak signifikan. Itu sangat membantu, tapi ada hal
lain yang lebih penting. Misalnya, kecintaan terhadap bahasa. Bisa jadi kita
bukan lulusan dari program studi formal bahasa, tapi kita sangat mencintai bahasa
dan mempelajarinya tiap hari walau kuliahnya di bidang lain,” ujar Mahasiswi Pascasarjana Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Program Linguistik Universitas Indonesia.
Selanjutnya , jam
terbang penerjemah menjadi pertimbangan utama bagi penerbit-penerbit yang ingin
menggunakan jasa penerjemah,
“Sertifikasi TOEFL,
IELTS jarang diminta, pertimbangan penerbit lebih kepada jam terbang, sudah
berapa banyak buku yang diterjemahkan. Karena itu berarti penerjemah sudah
biasa dengan konsistensi waktu, dan kualitas sudah terbukti, “ sebutnya.
Sedang,
bagi penerjemah yang belum punya cukup portofolio, pertimbangan utamanya lebih ke hasil tes yang diberikan penerbit, yaitu menerjemahkan satu bab dari sebuah buku. Jika cocok dengan gaya yang diinginkan si penerbit , penerjemah pemula pun bisa dipilih. (ark)