Jangan Colong Buku, Kecuali Kau Chairil Anwar


buku biografi chairil anwar


Cerita penelusuran jurnalis Hasan Aspahani di tiap tapak sepi penyair Chairil Anwar untuk penulisan buku “Chairil” sarat penyingkapan mitos seputar kehidupan si pelopor sastra angkatan 45.   

Tetap di Batavia

Hasan mengakui, melakukan riset Charil Anwar sangat menyenangkan karena menemukan jawaban-jawaban atas stigma yang kadung melekat di Chairil, salahsatunya: pencuri buku. 

“Kenapa  dia suka mencuri buku. Di buku saya ceritakan ada alasan yang masuk akal. Bukan berarti mencuri itu masuk akal, tetap tidak benar. Tapi kita mengerti kenapa Chairil mencuri,” ungkapnya dalam Bedah Buku Chairil Karya Hasan Aspahani, Selasa 15 Oktober 2019,  Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan, Jakarta.

Semua informasi tentang pencurian buku itu didapatkan Hasan dari sumber sekunder yang valid. Proses penulisan buku biografi Chairil membutuhkan waktu 8 bulan dan penyuntingan selama 3 bulan. Hasan membaca sekitar 40 buku yang sebagian tidak dikira bakal memuat cerita Chairil Anwar di dalamnya. 

Hasan Aspahani melanjutkan, masuknya Jepang ke Indonesia memaksa Chairil Anwar keluar dari zona nyaman. Akibat Jepang menutup semua sekolah, Chairil harus berhenti sekolah MULO di daerah Pasar Baru. Semua pelajar asal Sumatera dipulangkan Jepang, termasuk kawan-kawan yang kelak jadi tokoh di antaranya Rosihan Anwar, dan Sitor Situmorang. Sedang Chairil bertekad untuk tidak pulang ke Bukittinggi dan tetap tinggal di Batavia.

Chairil Anwar harus berjuang untuk bertahan hidup terutama ketika terhenti sokongan dari ayahnya. Anggapan soal ayahnya yang menikah lagi, dan melupakan Chairil luntang-lantung di ibukota terpatahkan dengan temuan fakta yang tertuang di buku. Kata Hasan, meski ikut ibu kandungnya, Chairil tidak masalah dengan keluarga barunya. Ia bahkan begitu perhatian dengan ibu tiri dan memberi nama untuk adik tirinya.

Alasan yang paling masuk akal kenapa sang ayah berhenti mengirim uang, menurut Hasan, karena saat itu Sumatera dikuasai angkatan bersenjata Belanda dan Jawa oleh militer Jepang. Hal ini mengakibatkan putus hubungan antara kedua daerah tersebut termasuk penghentian layanan pengiriman.

Andai Chairil Anwar memutuskan pulang kampung, hidupnya akan jauh lebih baik. Bapaknya seorang controleur, penghubung antara penguasa pribumi dengan penguasa kolonial, jabatan yang setingkat di bawah residen. Tapi bayangkan kalau dia kembali ke kampung halaman, akankah kita memiliki si Binatang Jalang yang ingin hidup seribu tahun lagi ini? Seorang pendobrak tatanan bahasa Indonesia dengan khas keakuan yang lentur dan punya vitalitas tinggi lewat bait-bait puisi.


Mencuri Sebagai Perlawanan

Bicara vitalitas tinggi, tiada yang dapat membendung keinginan besar untuk membaca. Hidup boleh morat-marit tapi kebutuhan mereguk ilmu harus selalu tepenuhi. Tidak punya uang buat beli buku, jadilah Chairil mencuri buku di toko buku di bilangan Senen milik orang Belanda. Tidak apalah mencuri dari orang yang bangsanya sudah menancapkan kuku-kuku imperialisme di ibu pertiwi. Mungkin demikian penguat motivasinya.

Tak kurang Asrul Sani pernah diajak mengikuti aksinya mengutil buku. Konon Sitor Situmorang sempat diajarkan tutorial cara mencuri buku. Jurnalis kenamaan Mochtar Lubis tak segan meminjamkan uang kepada Chairil karena tahu si penyair bohemian ini akan melunasi utang dengan buku-buku bagus hasil curian. Dalam melancarkan aksi mencuri, Chairil Anwar selalu bebas melenggang, kecuali saat mencuri cat dan seprai seorang opsir jepang (kempetai), ia tertangkap, dipukuli, dan diadili. 

Penulis naskah Salman Aristo utarakan, bicara polah Chairil Anwar, sebenarnya kita sedang membahas sesuatu yang lebih besar. Tindakan Chairil ini merupakan refleksi terhadap zamannya. Bicara Chairil mencuri buku, sebetulnya kita sedang menyaksikan perlawanan anak bangsa terhadap penjajahan. Indonesia yang sedang puber, sedang remaja-remajanya berontak lewat sosok Chairil. 

“Menceritakan dia mencuri buku, menceritakan sesuatu yang lebih besar. Menceritakan Chairil mencuri buku, berarti menceritakan represi Jepang. Zeitgeist-nya memang ada di dia,” imbuhnya. 

Salman merupakan orang yang memegang amanah meramu buku biografi Chairil menjadi naskah yang akan diangkat menjadi serial yang tayang di saluran seperti Netflix, Iflix, Hooq dan Viu. Apakah adegan mencuri buku akan muncul di serialnya nanti? Mari kita tanya bersama si penggarap naskah film “Bumi Manusia” ini. 

“Yang ada di buku kalau dialihwahanakan menjadi medium audio visual akan menggambarkan semangat zamannya. Sebisa mungkin, apa yang sudah ditulis Bang Hasan akan coba saya jadikan audio visual nanti,” tandasnya. 

Penyair Damhuri Mohammad mengatakan, sajak-sajak Chairil lahir dari gagasan-gagasan besar, dari pergulatan dunia pemikiran yang digelutinya lewat buku-buku yang dia curi itu. Puisi paling monumental; AKU ditulis saat Chairil berumur 21 tahun (1943). di mana dia sudah matang merumuskan filsafat hidup di usia yang masih sangat muda.