Salman Aristo Bikin Film Chairil Anwar

bedah buku chairil anwar

Suatu hari, circa 1940-an, dua sahabat muda menyusuri sungai di Pasar Baru. Yang satu menunduk saja sepanjang jalan. Bertanyalah kawan: ‘Ngapain sih lu, dari tadi nunduk terus?’ Lalu dijawab: ‘Enggak, masa’ di kota segede Jakarta tidak ada dompet jatuh ’. Yang bertanya, namanya Asrul Sani. Yang menjawab, namanya Chairil Anwar. 


Bakal Jadi Film

Adalah seorang mahasiswa jurnalistik kini penulis skenario Salman Aristo yang berhasil mendapat fragmen menarik tersebut. Selembar halaman di salah satu bab kehidupan dua tokoh penting di jagad sastra dan seni Indonesia. Lelaki yang kelak jadi penulis naskah ini nekad berangkat ke Jakarta demi mewawancarai karib Chairil, Asrul Sani. Selama dua jam penuh, dua sosok lintas generasi berinteraksi mengenang kembali sepak terjang si binatang jalang.

“Pegang tape di depan Asrul Sani, tidak break makan-minum, dan cerita yang sangat luar biasa. Makin tebal obsesi saya membuat sesuatu tentang Chairil Anwar,” ungkapnya di Bedah Buku Chairil Karya Hasan Aspahani, Selasa 15 Oktober 2019,  Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan, Jakarta. 

Hasil wawancara itu menjadi salah satu bekal penulisan naskah yang sedang digarap Salman untuk film biografi Pelopor Sajak Angkatan 45. Chairil Anwar itu gejolak, lanjut Salman, an urge to freedom, penuh kontroversi, bikin kesal sekaligus memikat. Sosok yang kalau disimpulkan dalam bahasa anak sekarang, ...maaf kalau agak kasar: ngehe. Satu kata yang paling tepat disandang seorang Chairil Anwar. 

“Kalau jadi anak sekarang, pasti akan bilang: ngehe itu orang memang. Everybody loves to hate him,” tutur Salman.  

Betapa tidak. Suatu hari datang seorang kawan penyair ke indekos Chairil di bilangan Senen. Menjamu tamu, Chairil mentraktir seorang kawan makan sate. Sang kawan senang dan pulang dengan perut kenyang. Esoknya, mengetahui karya dimuat, datanglah kawan ke redaksi kantor Horison menjemput honorarium. Namun apa kata si redaktur? Upah sudah diambil... oleh Charil Berganti firasat jadi tak enak. Kawan itu pun menanyakan ke Chairil yang dengan enteng menjawab; sudah jadi sate yang kita nikmati kemarin.     

Begitulah. Seperti yang terlukis dalam bait sajaknya; Aku Berkisar Antara Mereka. Chairil Anwar bersahabat dengan seniman-seniman beken: Asrul Sani, Rivai Apin, H.B. Jassin, Affandi, Usmar Ismail, Henk Ngantung, dan Abdullah Idrus. Kemenakan Sutan Sjahrir ini biasa berdiskusi, berdebat sengit, dan berpolemik dengan para tokoh penting kebersenian di Indonesia. 

“Teman nongkrong, selapik sepeniduran. Duit ya dicolong, ribut dengan Idrus yang dibilang tidak bisa nulis cerpen. Jassin, orang yang sayang dan bapak karirnya, pernah mukul dia,” beber Salman.
 

bedah buku badan bahasa dan perbukuan


Kondisi Kesehatan

Buku biografi besutan Hasan Aspahani itu disebut jadi sumber utama penulisan naskah film serial Chairil Anwar. Buku yang ditulis dengan cita rasa jurnalistik ini luwes menyajikan bab demi bab secara deskriptif. Tidak monoton seperti biografi umumnya, cerita mengalir bak adegan film perihal “asbabun nuzul” dan “asbabul wurud” (meminjam istilah dari penyair Damhuri Muhammad) dari puisi-puisi Chairil.  

Salah satu yang menarik digambarkan adalah momen di mana sajak AKU pertama kali diperdengarkan. Puisi paling eksperimental di zamannya, dan menghentak gelanggang sastra negeri itu menggelegar di Keimin Bunka Shidoso. Pusat kebudayan bentukan Jepang yang berfungsi untuk memantau pergerakan pemuda, salah satunya lewat ajang sastra. 

Chairil Anwar, seperti yang kita duga, tidak mau masuk Keimin. Kendati demikian, dia tiap hari datang ikut berdiskusi, mendengarkan, dan, tentu saja, menjadi provokator. Suatu hari para sastrawan berdiskusi tentang sajak seperti apa yang cocok di zaman ini. Secara bergantian, HB Jassin, Rosihan Anwar, dan anggota lainnya mendeklamasikan sekaligus menawarkan corak baru puisi. 

Lalu masuklah Chairil Anwar menendang pintu. Tak puas menyimak puisi-puisi sejawat, tiba giliran dia unjuk gigi. Chairil naik ke meja dan membaca AKU. Puisi seperti inilah yang aktual, akunya sambil tak lupa me-roasting puisi rekan-rekannya. Demikian percaya diri Chairil. Jelas tingkahnya mengundang kehebohan semua yang hadir. Rosihan menentang penggunaan bahasa Chairil yang dinilai kasar, vulgar, dan berisiko. Tidak akan ada orang yang berani mau menggunakannya. 

Namun kenyataan berkata sebaliknya. Wahana perpuisian saat itu masih kental nuansa pujangga baru. Chairil Anwar dianggap pendobrak status quo dan pemecah kebekuan. Lewat bukunya, Hasan membagi corak puisi Chairil Anwar menjadi dua masa yakni masa awal dan masa kedua. Masa awal di mana vitalitas Chairil sedang tinggi-tingginya (AKU, Diponegoro). Masa kedua yaitu periode di mana sajak-sajak Chairil terasa lebih melangut (Senja di Pelabuhan Kecil).

Di masa awal, Chairil mengolah pengaruh dari penyair-penyair Belanda: Hendrik Marsmann, dan Jan Jacob Slauerhoff. Sedangkan di masa kedua hingga menjelang akhir hayat, Chairil mengolah pengaruh dari sajak-sajak Eropa: RM Rilke, Dylan Thomas, dan Archibald Macleish. 

Saking terpengaruh sampai banyak yang menuduh Chairil Anwar sebagai plagiator, dan sekadar menyadur karya para penyair ternama. Soal kontroversi ini, Hasan Aspahani memberi pemakluman dan pemaafan atas tindakan Chairil mengklaim gubahan-gubahan itu sebagai karya orisinilnya. 

Redaksi surat kabar seperti Panji Pustaka dan Asia Raya memberi imbalan  25 rupiah untuk puisi asli, dan hanya 10 rupiah untuk puisi terjemahan. Sementara kondisi kesehatan mengharuskan Chairil rutin suntik salvarsan seharga 25 rupiah. Jadi, sakit yang mendera itu memaksa Chairil membubuhkan nama sendiri di tiap puisi sadurannya. Ia mengecoh para redaktur supaya memperoleh uang cukup untuk menebus obat. 

Satu lagi kontroversi Chairil selain mencuri buku, sepeda, hingga seprai. Tapi, kata Hasan, sulit menuduh Chairil sebagai sepenuhnya plagiator. Apalagi mendapati puisi Chairil yang dituduh jiplakan itu lebih bernyawa dibanding sajak yang diduga disadurnya. Contoh; Puisi “Karawang-Bekasi” yang dituduh sebagai saduran dari “Young Dead Soldiers Do Not Speak” karya Macleish. 

Hasan Aspahani
menganalisis, Macleish menggunakan kata ‘They’ (mereka), sedang Chairil pakai kata ‘Kami’. Jadi suaranya dibalikkan dari dalam kubur, sehingga berkesan lebih magis dan impresif, karena yang berbicara adalah mayat. Yang berbicara adalah ribuan korban pengeboman Inggris di Karawang dan Bekasi. Chairil juga menguatkan dengan bait ‘Menjaga Bung Karno/ Menjaga Bung Hatta/ Menjaga Bung Sjahrir. Asrul Sani membela sahabatnya dengan berkata bahwa puisi itu bukan saduran melainkan keterpengaruhan. 

Menurut penulis, memang tidak relevan jika kita terus menyerang Chairil Anwar. Mengingat kita tidak berkisar di antara dia sampai berhak menilai ini dan itu. Tanpa bermaksud membenarkan segala kontroversialnya, penulis lebih antusias menyelami etos kerja yang Chairil Anwar wariskan. Dia menggali kebersenian di usia muda di mana Indonesia juga sedang -ranumnya. Dan lihatlah hari ini. Tidak ada yang baru di bawah sinar mentari. Yang segar senantiasa adalah semangat menyambut embun pagi dan kegigihan untuk terus berproses.