Kita Tidak Bhineka Tunggal Ika... di Media Sosial

kompasiana kompasianival 2019

“Bhineka tunggal ika”, berasal dari bahasa Jawa kuno berarti “berbeda-beda tetapi tetap satu”. Semboyan yang sudah bersemayam di sanubari sejak pertama kali kita mengisi kemerdekaan. Nusantara yang terdiri dari ribuan suku yang tersebar di belasan ribu pulau ini telah sejak lama memegang teguh semangat toleransi dalam bingkai persatuan.  

Hanya 2 Tombol

Namun motto ini tidak berlaku di media sosial. Nah, lho. Apa pasal?  kita paling susah berbhineka tunggal ika lantaran dua tombol yang terdapat di akun social media kita. 

“Di media sosial kita tidak bhineka tunggal ika. Kita hanya diperintah dua tombol: like dan love. Tombol like dan love hanya menghidupi algoritma dalam media sosial. Kita dibentuk algoritma, dia mencari yang sama,” ungkap pakar media Damar Juniarto dalam Reunite Kompasianival 2019 “Perspektif Sosial Media: Positive Vibes Only”, Sabtu, 23 November 2019, One Bell Park, Jakarta Selatan.  

Penerima YNW Netizen Marketeers Award 2018 ini menjelaskan, algoritma di media sosial mengumpulkan pengguna berdasarkan kesamaan latar belakang. Kita diseleksi dalam kotak-kotak yang terfragmentasi dalam kumpulan keseragaman, mulai dari kesamaan tempat mengeyam pendidikan, perusahaan di mana ia bernaung, profesi yang digeluti, hingga hal yang lebih spesifik lagi seperti hobi dan minat.

Dari kesamaan sebuah hobi itu juga ternyata bisa dikerucutkan lagi. Misal, awalnya kita dikumpulkan berdasarkan kegemaran masak-memasak, dan menikmati kuliner. Media sosial bisa memperkecil lagi ruang kumpul penggemar makanan ke tema turunan yang lebih unik lagi.

“Kita dibikin lebih kecil lagi kotaknya, persoalan bubur diaduk dan bubur tidak diaduk. Sehingga kita jadi berbeda. Tadinya sama-sama suka bubur, suka kuliner. Tidak mungkin terjadi persatuan antara bubur diaduk dan bubur tidak diaduk,” papar Damar berkelakar.

Ruang Gaung

Damar Juniarto melanjutkan pola pemisahan varian netizen ini sudah berkembang sejak 10 tahun lalu. Hingga kita makin terseleksi untuk selalu bertemu orang-orang yang punya kesamaan selera, hobi, minat, dan kesukaan. Jika ditelusur lebih dalam lagi, ketika momentum pilpres (bahkan masih berlanjut) misalnya, warganet terbelah menjadi dua kelompok binatang paling fenomenal yaitu kecebong dan kampret. Belakangan muncul primadona baru: kadal gurun (kadrun).

Pengguna media sosial pun membiasakan diri hanya membagi apa yang dia suka. Kita jadi tidak biasa hidup bersama orang beda. Tidak biasa hidup bersama orang dengan pikiran dan pilihan berbeda. Algoritma di media sosial membuat kita menjadi tidak bhineka tunggal ika, cetus Damar, padahal kita orang Indonesia.

Di realita kita ketemu orang-orang yang berbeda, tapi kita menjadi orang yang berkubu-kubu di media sosial. Sudah banyak tulisan yang mengatakan tentang fenomena online tribes (suku-suku daring) yang menguat di tengah keriuhan  di media sosial dari waktu ke waktu.

“Yang menarik dan khas zaman media sosial melahirkan online tribes. Suku-suku online ada kepala sukunya. Kita dengarkan kepala suku. Kalau kita melanggar aturan, kita dikeluarkan dari WA Group, di-kick, dsb,” tandas Damar.

Fenomena Ini lambat laun membawa banyak implikasi. Kalau dia selalu bertemu orang-orang yang sama, dia hanya mau mendengarkan pendapat yang sama. Dia jadi tidak bisa mendengarkan orang  yang berbeda. Dia akan selamanya berada dalam ruang gaung (echo chamber). Ruang gaumg memungkinkan kumpulan teman sama yang saling like, love, dan berkomentar senada tanpa terjalin dialektika.

Selanjutnya, kita jadi rentan sekali terkena provokasi. Provokasi yang paling bahaya adalah agitator online yakni orang-orang yang menggunakan teknologi untuk memprovokasi kita. Karena tidak semua di media sosial itu berwujud orang. Dia bisa berbentuk troll farm, dan bot yang kadang sulit dideteksi. Kalau ada yang ramai segendang seirama di jagat maya, belum tentu itu tindakan orang semua. Bisa jadi itu perilaku mesin agitator yang dikendalikan kelompok atau organisasi yang punya niat memprovokasi.  

Kepentingan Pemasar Iklan

Banyak dari pengguna medsos yang tidak menyadari, lanjut Damar, algoritma yang menggiring kita menjadi kubu-kubu ini sejatinya untuk kepentingan pemasaran strategis iklan daring. Para netizen yang sudah terfragmentasi dalam masing-masing gelembung tapis (filter bubble) atau echo chamber itu memudahkan pihak-pihak pengiklan menyasar produk dan layanan ke target konsumen yang tepat. 

Jadi bagaimana, dong? Apa solusinya? Damar menyarankan kita sesekali keluar dari kumpulan yang sama, dan melompat ke kumpulan lain demi mendapat perspektif yang luas. Sering-seringlah piknik online. Tapi tamasya bukan sembarang tamasya. Damar menyertakan tips agar kita menguasai 10 kompetensi dalam literasi digital. Kompetensi tersebut adalah mengakses, menyeleksi, memahami, menganalisis, memverifikasi, mengevaluasi, mendistribusi, memproduksi, berpartisipasi, dan berkolaborasi.

Please, menyebrang dari gelembung tadi, jangan cuma sama teman-teman sendiri. Harus pecahkan gelembungnya dan muncullah di tempat lain,” pungkasnya. Temuwicara Kompasianival 2019 tema media sosial ini juga menghadirkan Penulis Maman Suherman.