Sedang kerjakan project, namun masih belum
punya ide untuk mulai. Brainstorming, curah pendapat, rapat, semua sudah dilakukan.
Tapi kok ya gagasan belum kunjung mantap.
Ketika Buang Hajat
Padahal tenggat makin dekat. Bayangan klien tetiba minggat mulai menghantui. Resah dan gelisah. Duh, aku kudu piye? Tenang. Penulis
buku laris Milennials Kill Everything, Yuswohady, beberkan tips sederhana untuk
kita mampu menggali gagasan dengan cara yang mudah diterapkan siapa saja.
Pengalaman bekerja di Mark Plus selama bertahun-tahun membekali Yuswohady
dengan beragam proses kreatif yang unik di kala mengerjakan project bersama konsultan beken sekelas
Hermawan Kartajaya.
Salahsatunya,
Hermawan Kartajaya seperti dikisahkan Yuswohady, butuh sparring partner dalam obrolan ringan memantik inspirasi. Jadi, percakapan
tidak harus bermutu atau membahas tema penting. Obrolan tak jarang berlangsung ngalor-ngidul
bin ngawur. Namun justru interaksi demikian mampu mendatangkan inspirasi.
Sekali lagi, ide ternyata bisa datang di kala kita sedang rileks di tengah obrolan
santai.
“Waktu bikin
buku dengan Pak Hermawan, kadang kita tidak ada kontribusi. Yang mikir tetap
dia. Tapi dia butuh sparing partner. Walau
kita ngomong tidak keruan, tetiba bisa men-triggered;
oh begini. Jadi, kadang kita mikir
butuh feeding,” kenang Yuswohady
dalam Up Close & Personal Talk: How to Write a Best Seller Book
“The #MillennialsKILLeverything Case Study”, Perpustakaan Nasional, Sabtu
30 November 2019.
Maka, menangkap ide
memang bukan perkara mudah, lanjut Yushohady. Bahwa kita harus melalui proses
pergulatan pemikiran itu memang betul. Tapi seringkali gagasan muncul tidak pada
waktu tersebut. Kadang bisa datang esok hari atau beberapa minggu kemudian.
Sudah lama kita
mendengar anggapan, katanya ide kadang datang ketika kita sedang, maaf, buang
air kecil atau buang air besar. Jadi, di saat terjadi proses sesuatu yang
keluar berbarengan dengan proses sesuatu yang masuk.
Makanya, banyak yang
menganggap ide seringkali muncul justru ketika kita tidak sedang memikirkannya,
salahsatunya ketika kita sedang buang hajat. Begitu intens otak diperas dalam
berbagai latihan intelektual (intellectual
exercise), tapi justru yang dicari-cari itu berkunjung ketika kita sedang
rileks.
Jadi itu
tipsnya? Ciptakan obrolan ringan di sela mengerjakan project dari klien. Oh, bukan. Itu baru pembukaan. Ada tips yang
lebih menarik. Justru metode ini ditemukan tidak sengaja oleh Yuswohady ketika
dia mendapati kolesterolnya naik. Lho, kok bisa. Begini ceritanya.
“Tiga tahun lalu, kolesterol saya 370. Tapi dokter
bilang ini normal, walau paling tinggi 200. Aku memutuskan mulai hari itu aku jogging. Biasanya di taman joging depan
La Piazza Kelapa Gading. Biasa lari 2 kali putaran dan 10 kali jalan,” beber
penulis Marketing to the Middle Class Moslem.
Hingga suatu
hari Yuswohady membaca satu artikel yang menyebutkan bahwa berjalan kaki bisa merangsang
kemunculan ide kreatif. Lebih sumringah lagi mendapati ternyata jalan kaki
diterapkan tokoh terkenal mulai dari Beethoven hingga Steve Jobs.
Melansir Stanford News (24 April 2014) "Stanford study finds walking improves creativity", Universitas Stanford menemukan, orang yang berjalan kaki lebih kreatif dibanding orang yang duduk diam ketika diminta melakukan aktivitas tertentu. Penelitian yang melibatkan 176 mahasiswa dan masyarakat umum itu mendapati, berjalan kaki meningkatkan sirkulasi darah ke seluruh tubuh, termasuk otak, dan meningkatkan pemikiran kreatif.
Focus Mode & Difuse Mode
Yuswohady mengutip, A person creative output increased by 60% when they were walking. Artikel yang menyisipkan laporan lengkap riset itu mengungkapkan, kerja otak ada dua macam yakni focus mode, dan difuse
mode. Focus mode adalah concentrated
thought, yang terjadi ketika kita kondisikan suasana formal seperti meeting, dan brainstorming. Tapi ketika sedang berjalan kaki, otak manusia
berada di difuse mode, kondisi yang lebih
rileks hingga membentangkan big picture
thought.
Steve Jobs
selalu berkata proses kreatif adalah upaya connecting
the dots. Boleh jadi, berjalan kaki adalah wahana kondusif mendukung proses
menghubungkan satu titik gagas ke titik gagas lain hingga menemukan jawaban. Sambil
santai menikmati suasana dan melihat pemandangan sekeliling, ide bisa datang
kapan saja. Yuswohady menyarankan agar kita
segera mengikat momen eureka! itu
dengan mencatatnya.
“Waktu ketemu,
jelas idenya. Tapi, dua jam kemudian, ide itu hilang sama sekali. Makanya saya
mesti catat esensinya agar tidak lupa,” tuturnya.
Eureka adalah
kondisi yang mencerahkan dan membahagiakan, karena kita menemukan sesuatu yang
baru. Namanya; ektase, ketika kita menemukan ide baru. Einstein menemukan teori
E = MC2 bukan di laboratorium. Ia menemukan teori monumental tersebut justru
setelah bertahun-tahun berpikir hingga nyaris mengabaikannya. Akhirnya, ia
memutuskan tidak berpikir selama 2
minggu. Waktu yang dimanfaatkanya untuk berjalan laki dan bermain biola. Saat
di mana ia menemukan teori masyur tersebut. Iya, otak Einstein sedang berada di
difuse mode selama 14 hari lamanya.
Jadi bagi sebagian
besar pelaku di dunia kreatif, berjalan kaki menjadi momen kemewahan tersendiri, luxury time, yang memantik intuisi mendukung proses krreatif
mereka. Tapi, untuk saat ini, di mana pandemi sedang menerjang,
mungkin kita perlu lebih telaten dan tepat mencari spot atau area berjalan kaki
yang aman dan nyaman. Aktivitas berjalan kaki juga bisa dipadu dengan waktu baik kita berjemur di
bawah sinar matahari langsung. Tapi ingat, tetap jaga jarak aman atau physical distancing untuk mencegah penyebaran wabah.
Diskusi interaktif ini juga mengupas proses penciptaan buku dengan studi kasus Millennials Kill Everything. Buku yang mendalami pola pikir kaum milenial yang patut menjadi perhatian para pelaku bisnis. Acara kerjasama Perpusnas RI dan Inventure ini memaparkan serba-serbi resep penulisan buku laris, mulai dari pencarian ide, pengambilan angle, perumusan konsep, penulisan, peluncuran buku, hingga strategi promosi.