Dunia di-Restart, Indonesia Kejar Ketertinggalan

  

ketua umum icmi arif satria

Melaksanakan pertumbuhan ekonomi di era pandemi, Indonesia justru berpeluang mengejar ketertinggalan dari negara lain. Betapa tidak, semua negara belum berpengalaman menghadapi C0v1d-ig. Tiap negara mengalami kondisi sama, yaitu  sedang belajar menaklukkan pandemi. 


Kecepatan Belajar

Begitu ungkap Ketua Umum ICMI Arif Satria. Maka selanjutnya tergantung kecepatan kita belajar dan beradaptasi.

“Semua negara sedang belajar. Tergantung kecepatan belajar, dan orientasi kita pada future practice atau hanya best practice,” sebutnya dalam Penutupan Muktamar VII ICMI Tahun 2021 dan Milad ke-31 ICMI di Bandung Jawa Barat. Senin 06 Desember 2021.      

Kalau kita fokus pada best practice, sebut Arif, selamanya kita akan menjadi follower. Tapi kalau kita fokus pada future practice, kita akan menjadi pemimpin. 

Menurut Arif, hikmah kondisi pandemi adalah dunia sedang di-restart, atau dinol-kan oleh Tuhan. Ibarat berlari, sekarang semua negara berada di garis start yang sama. Persoalannya adalah sejauh mana kecepatan kita berlari dan belajar (Learning agility). Kalau kita mampu belajar dengan cepat, learning agility-nya sangat tinggi, maka kita akan bisa mengejar ketertinggalan. 

Tapi learning agility biasanya harus diikuti dengan pola pikir growth mindset. 

“Growth mindset berkembang seiring perubahan zaman. Bukan fixed mindset. Orang yang fixed mindset selalu menyalahkan keadaan, pesimistis terhadap masa depan, dan tidak yakin dirinya bisa berubah,” papar Arif.   

Bicara kecepatan belajar dan beradaptasi, tak pelak, pandemi merombak tatanan kehidupan kita. Tak terkecuali di bidang pendidikan. Sebelum pandemi, kegiatan belajar secara daring atau online belum menjadi aktivitas yang lazim di dunia pendidikan. Sehingga baru sebagian saja yang melakukannya. Kampus seperti Universitas Terbuka yang sudah terbiasa pembelajaran jarak jauh, lebih adaptif menghadapi dinamika belajar di era pandemi. 

 

Perubahan Iklim, dan Revolusi 4.0 

Arif Satria menjelaskan, selain pandemi, terdapat dua sumber perubahan lagi sebagai bekal analisis kita merespon berbagai tantangan zaman 

Pertama, Perubahan Iklim (climate change). Semua orang sibuk mengatasi perubahan iklim dengan melakukan berbagai langkah cerdas mitigasi dan adaptasi. Tantagan mengemuka, contoh, petani makin sulit memprediksi perubahan cuaca, banjir terjadi di mana-mana. Para nelayan pun tidak tahu kapan bisa melaut dengan tepat. 

Revolusi industri yang dipicu kemajuan teknologi berdampak pada cara hidup dan perilaku manusia. Maka, kita dituntut mampu merespons kemajuan teknologi yang menawarkan kecepatan dan efisiensi dengan mengembangkan kemampuan baru, di antaranya, di bidang Artificial Intelligence (AI), dan Internet of Things (IoT). 

Kedua, Revolusi Industri 4.0. Revolusi ini menggambarkan percepatan pertumbuhan teknologi yang luar biasa yang membuat kita terkoneksi satu sama lain dan menjadi satu ekosistem.  Tidak ada lagi yang bisa sendiri. Semua harus terhubung dengan cepat dan efisien. Kondisi ini telah merombak seluruh tatanan kehidupan kita. Kehidupan berubah karena perilaku kita berubah. Secara teoritik, lanjut Arif, perubahan percepatan teknologi bersifat eksponensial, di mana kecepatan itu hanya bisa diikuti kecepatan perubahan individu, bisnis, dan regulasi.    

Revolusi Industri 4.0, dan pandemi melahirkan model ekonomi baru sebagai respons terhadap disrupsi besar yang dihadapi dunia. Perubahan iklim mendorong manusia lebih peduli pada alam dan lingkungan. Perubahan iklim tak hanya berdampak pada lingkungan dengan muncul bencana alam: banjir dan kekeringan, tapi juga menimbulkan krisis energi dan air bersih. Disrupsi akibat adanya perubahan iklim memunculkan ekonomi hijau (pertanian) dan ekonomi biru (kelautan). 

Disrupsi pandemi, lanjut Arif, melahirkan model ekonomi normal baru (new normal economy). Model ekonomi normal baru merupakan gabungan dari ekonomi hijau dan biru yaitu ekonomi digital, serta model ekonomi yang lahir sebagai respons terhadap kemunculan pandemi. 

Ekonomi normal baru memiliki karakteristik, di antaranya fokus pada agromaritim, menjadikan desa sebagai pusat pertumbuhan baru, dan perilaku manusia yang sehat dan hijau untuk mendukung konsumsi yang berkelanjutan. Agromaritim perlu dikembangkan sebagai respons terhadap tuntutan kemandirian pangan. 

Selama pandemi, sejumlah negara menahan stok pangan mereka, sehingga upaya kemandirian pangan makin relevan kini. Kontribusi desa dalam ekonomi perlu ditingkatkan, karena banyak negara dengan produk domestik bruto tinggi, sebagian besar penduduknya tinggal di perdesaan. Artinya, desa menjadi sumber pertumbuhan baru di hampir semua negara maju.




Komentar