Peluncuran Buku Noor Huda Ismail di Universitas Paramadina

 



Kehadiran buku Narasi Mematikan karya Dr. Noor Huda Ismail memperkaya khazanah kajian terorisme, terutama perihal pendanaan aksi. Peluncuran buku terbitan Kreasi Prasasti Perdamaian (KPP) ini menjadi intens bersama kehadiran dua ‘credible voices’ yakni Munir Kartono dan Hendro Fernando.  

  

Paling Besar Terima Rp 1,3 Miliar 

Mantan narapidana teroris (napiter) Hendro Fernando membeberkan peran dia menggalang, membagikan, dan mengirimkan dana ke berbagai tujuan. Sejak 2012, pria yang dijuluki the handsome preman ini aktif membantu teman-teman napiter di penjara. Ia mengumpulkan dana lewat kotak infak melalui media sosial serta dari masjid ke masjid. 

Hendro terhubung ke Suriah dan diberi tugas oleh Komandan ISIS Wilayah Asia Tenggara asal Indonesia Bahrumsyah untuk mengalokasikan dana dari Suriah ke Indonesia. Hendro mengaku sering menerima ratusan juta rupiah, hingga yang paling besar Rp 1,3 Miliar yang diambil secara tunai di Turki. 

“Kalau yang ratusan, saya sering terima. Yang paling besar 1, 3 miliar, saya ambil di Turki. Uangnya cash. Bagaimana menggeser uang itu ke Indonesia pakai Western Union,” ungkap Hendro dalam Peluncuran Buku "Narasi Mematikan: Pendanaan Teror di Indonesia" karya Noor Huda Ismail, Kamis 27 Juli 2023, Auditorium Nurcholish Madjid, Universitas Paramadina, Jakarta. 

Memanfaatkan layanan kirim uang internasional, selama satu minggu, Hendro memecah dana yang dialokasikan untuk Mujahidin Indonesia Timur di Poso Sulawesi Tengah. Uang tersebut digunakan untuk belanja senjata dari Filipina.    

Hendro tertangkap di 2016. Meski dipenjara, pasca di Mako Brimob, Hendro masih bisa kontak ke Poso, mengemban tugas membangun pesantren Darul Anshar. Pesantren yang dikhususkan untuk anak-anak napiter dan orang-orang yang meninggal di Poso. Biaya yang dibutuhkan sekitar 300 juta rupiah. Dalam waktu hampir 2 bulan, Hendro mampu memperoleh dana hanya lewat media sosial.


 

Perang Narasi

Jika Hendro Fernando berperan menggalang, menerima, dan membagikan dana, Mantan Napiter Munir Kartono berperan sebagai money maker. Munir piawai dalam menghasilkan uang sesuai permintaan. Ia tidak tahu-menahu uang tersebut digunakan untuk apa saja. Yang jelas, ketika itu, ia merasa bangga bisa berperan dalam aktivitas yang diyakini sebagai tiket masuk surga itu. Hingga timbul penyesalan ketika akhirnya dia  tertangkap.   

“Kalau ditanya ke Hendro, pasti sama. Penyesalan terjadi setelah ditangkap. Kalau belum ditangkap ya tidak mungkin menyesal juga. Pasti teruslah. Hebat. Tidak ditangkap-tangkap. Wah, berarti benar nih, jalannya,” tandas Munir.     

Penyesalan Munir muncul salahsatunya dipicu oleh perlakuan para mantan rekan-rekannya. Saling membenci dan mengkafirkan. Munir juga melihat kenyataan perbuatan mereka yang sampai "mencuri" istri dari orang-orang yang dianggap berkhianat.

Penyesalan juga timbul seiring pembinaan yang dijalani Munir. Termasuk  pembinaan dari Dr. Mirra Noor Milla (Lektor Kepala, Fakultas Psikologi & Wakil Kepala Laboratorium Psikologi Politik, Universitas Indonesia), narasumber berikutnya, yang juga berkecimpung di Pusdiklat BNPT. Mirra Noor Milla menuturkan, manusia butuh narasi untuk menggambarkan dunia (to sense the world). Narasi juga memberikan kebermaknaan diri kita mengenai bagaimana menjadi orang baik dan diterima.

Namun, ancaman kemudian merebak di mana narasi pro violent disebarkan kelompok-kelompok ekstrem yang memainkan narasi paling kuat yakni narasi agama. 

"Narasi agama banyak dipakai karena memenuhi ketiganya secara lengkap: sense of the world, kebermaknaan, dan kepastian, Narasi sakral memberikan kepastian tidak hanya dunia juga akhirat," imbuh Dr. Mirra.   

Hingga tak heran bila orang akan mengorbankan segala ketika mengikuti narasi sakral ini. Maka, lanjut Mirra, kita perlu meng-counter dengan memenuhi ruang masyarakat lewat narasi agama yang pro sosial. Contoh, Munir dan Hendro bisa kembali karena aktif berkegiatan di masyarakat. 

Pembicara selanjutnya, Ketua Program Magister Ilmu Agama Islam Universitas Paramadina Dr. M. Subhi-Ibrahim memaparkan, buku Narasi Mematikan mengajak pembaca menyelami apa yang disebut industri teror. Layaknya korporasi, kelompok-kelompok teror menciptakan narasi, mengelola pendanaan, dan memproduksi teror.    

Peluncuran buku diawali opening speech dari Rektor Universitas Paramadina Prof. Didik J. Rachbini M.Sc., Ph.D serta sambutan Direktur Eksekutif Kreasi Prasasti Perdamaian (KPP) dan Penulis Buku Dr. Noor Huda Ismail. Acara dirangkai pemutaran film dokumenter "Dari Kecewa Pada Bapak Menjadi Pendana ISIS (Munir Kartono). Produser Noor Huda Ismail dan Sutradara Ani Ema Susanti. Sesi diskusi dan bedah buku Narasi Mematikan menampilkan moderator Dosen Universitas Indonesia Dr. Zora Sukabdi

Meski mengangkat tema paling serius, buku Narasi Mematikan terkesan ringan dengan balutan desain pop. Berukuran besar yang nyaman dibaca, buku bersampul warna tosca ini bertabur ilustrasi-ilustrasi menarik. Buku Narasi Mematikan menyajikan isu secara gamblang. Mengutip kelakar Hendro, buku ini serupa Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Sehingga tampil “telanjang” mengungkap seluk-beluk teknik pendanaan disertai screenshot percakapan-percakapan.   

 

Komentar

Postingan Populer

Serunya Belajar Ekonomi Syariah dan Jurnalistik

Rice Cooker Hilangkan Puluhan Kosakata Sunda

Mau Makan Apa? Semua Ada di Huk Family Resto