Featured Post

APLI Talk Show: Produk MLM Jangan Klaim Berlebihan

asosiasi penjualan langsung indonesia


Suatu hari, saya pasang status di WhatsApp begini: "Good morning, headache, You’re like an old friend. Come and see me again”. Tak lama kemudian, masuk sebuah respon status dari seorang kawan: Sakit kepala, pak?’. 


Suplemen Bukan Obat

Iya nih, jawab saya. ‘Jaga kesehatan, Pak. Kerja jangan diforsir,’ begitu komen balasannya berhias emotikon senyum manis. Sejurus kemudian, dia rekomendasikan sebuah produk kesehatan. 

Apresiasi perhatian kawan, saya merespon baik dengan menyimak penjelasan lebih lanjut. Kawan antusias mengunggah gambar produk sambil membeberkan menyalin-tempel info keunggulannya. Semua info tersaji, mulai dari bahan yang terkandung, khasiat yang diberikan, sampai harga tiap jenis kemasan. Sang kawan lalu menanyakan lebih lanjut perihal keluhan berat di kepala dan kerap terasa berputar-putar ini. Tidak ada yang baru dari kesimpulan dan saran yang dia sampaikan. Saya sebelumnya sudah melakukan riset sederhana dengan meramban di google perihal gangguan kesehatan di kepala.   

Si teman merekomendasikan produk yang diklaim bisa menyembuhkan seluruh keluhan kesehatan saya itu. Dia menguatkan anjuran, produk itu aman dikonsumsi tiap hari karena terbuat dari bahan herbal. Sampai di sini saya tertarik. Siapa yang tidak minat dengan suplemen kesehatan berbahan baku alami. Apalagi di masa pandemi, orang makin melirik produk dan ramuan herbal sebagai upaya meningkatakan imunitas tubuh.

Eh, tunggu dulu, deh. Barusan saya bilang suplemen, ya? Suplemen, bukan obat. Tapi kenapa sohib menerangkan manfaat suplemen dengan narasi layaknya khasiat obat, yakni menyembuhkan penyakit Bahkan sebagian produk yang jelas-jelas termasuk obat saja, lebih memilih istilah ‘meredakan’ ketimbang ‘menyembuhkan’. Tentu saja, percakapan kami beralih ke soal ketercantuman nomor izin edar dan status kehalalan di produk tersebut. Harus jelas ini produk suplemen atau obat, karena hal itu berpengaruh terhadap approval dari dua lembaga tersebut. Namun jawaban kawan itu belumlah memuaskan.

 

Klaim Didukung Bukti Ilmiah

Saya jadi ingat diskusi Asosiasi Penjualan Langsung Indonesia (APLI) beberapa waktu lalu. Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan BPOM RI Dra. Rita Endang, Apt, M.Kes menjelaskan, tiap produk yang mengajukan izin edar BPOM harus mencantumkan informasi jelas di label produk. Dia tidak boleh klaim berlebihan. Misal,  hanya produk suplemen tapi mengklaim manfaat seolah obat.

“Harus label yang dipersyaratkan. Tidak boleh overclaim kalau label hanya untuk pangan yang membantu kesehatan. Tapi bukan pangan untuk mengatasi, tidak untuk menyembuhkan,” tegasnya dalam  APLI Talk Show: "Pentingkah Halal Produk dan Sertifikasi Syariah dalam Direct Selling di Indonesia,” APLI Convention 2020, Nu Skin Indonesia, Jakarta, 9 Desember 2020.

Hadir secara virtual via zoom meeting, Ibu Rita paparkan lebih lanjut. Untuk produk yang dapat menyembuhkan, ia harus lebih dulu melewati uji klinik. Industri dapat mencantumkan di label perihal dokumen terkait jika sudah dievaluasi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) bersama tim ahli. Klaim yang tertera di label harus didukung dan dipertanggungjawabkan dengan bukti ilmiah.

Jadi bagaimana cara mengajukan sertifikasi BPOM? Industri atau UKM dan UMKM  dapat menyiapkan dokumen, bisa dilihat di situs Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), lalu mendaftar dan akan dievaluasi. Kelar evaluasi  BPOM lakukan penilaian dan apporval hingga terbitkan izin edar.

Untuk pangan siap saji, misal di bufet hotel atau resto dan layanan jasa boga, lanjut Ibu Rita, tidak perlu izin edar BPOM. Bagi masakan yang dikonsumsi langsung dengan kedaluarsa cepat (cuma di bawah 7 hari), tidak membutuhkan izin edar. Untuk ranah ini adalah tugas Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang memberi sertifikasi syariah kepada resto atau layanan jasa yang dimaksud.

Hadir juga dalam temu wicara yang menjadi salah satu rangkaian APLI Convention 2020, Ketua Bidang Industri Bisnis dan Ekonomi Syariah DSN-MUI Dr. M. Bukhori Muslim, LC., MA., dan Dewan Komisioner APLI Koen Verheyen. 

Ustad Bukhori sampaikan, menghadirkan produk halal ke tengah konsumen termasuk amanat konstitusi. Undang – undang No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal mengamanatkan, produk yang beredar di Indonesia terjamin Kehalalannya.

Dalam terminologi tafsir Al Quran, makna ‘halal’ tidak bisa dipisahkan dari ‘tayib’, tidak ada kata wauw (dan) yang menyambungkan keduanya. Maka itu harus disebut dengan satu tarikan nafas yakni “halalan tayiban”. Untuk aspek halal adalah tugas DSN MUI, sedang untuk aspek tayibah adalah tugas BPOM. DSN MUI memeriksa, dan menyelidiki secara rinci zat yang terkandung dari produk, dan memastikan tidak melanggar prinsip syariah. BPOM memastikan terpenuhi aspek kemanan, mutu, serta kejelasan informasi label dan iklan dari suatu produk

Jadi, sinergi kedua institusi pemerintah ini menghasilkan jaminan legitimasi atas kualitas produk yang dikonsumsi masyarakat tanpa luas. Iya, bagi seluruh masyarakat, mengingat Allah SWT menyerukan perintah mengonsumsi dari yang halalan tayyiban dengan bahasa yang universal yakni "Wahai manusia..." (Al Baqarah ayat 168).

Makna halalan thayyiban pun makin luas, aktual, dan relevan. Halalan thayyiban menjadi salah satu aspek yang mendukung kualitas dan keunggulan produk serta praktik bisnis yang baik. Termasuk produk dalam model bisnis Penjualan Langsung Berjenjang Syariah atau Multi Level Marketing (MLM) Syariah. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini