Berita Soal Pandemi Bikin Parno

 

stop membaca berita rolf dobelli

Rekan pembaca budiman. Anda mulai lelah membaca berita soal C0v1d-i9? Mayoritas isinya hanya menimbulkan ketakutan. Padahal kita dianjurkan meningkatkan imunitas. Kalau begini terus, bisa kena mental. Masa’ kita harus stop baca berita, sih. 


Peringatan Bagi Pemangku Kebijakan

Pemimpin Redaksi kompas.com Wisnu Nugroho menyampaikan, media berusaha menampilkan dunia sesuai kebenaran lewat metodologi jurnalistik. Tentu, dalam praktiknya, tidak ada kesempurnaan atas kebenaran atau fakta yang ditampilkan. Kendati demikian, ada keinginan media untuk menyampaikan fakta sebagai kebenaran yang diuji dengan metodologi jurnalisme, yaitu riset, observasi dan wawancara. 


Kalaupun hasilnya yang banyak mengemuka, dalam konteks ini, berita soal pandemi, dianggap menakutkan pembaca, itu karena memang realitanya demikian.   

“Kalau kemudian tone-nya lebih banyak negatif, ya memang situasinya lagi negatif. Karena kegencaran media berteriak soal situasi yang tidak baik-baik saja, Pemerintah kemudian mengambil keputusan yang kita lihat kemarin, ada PPKM darurat,” ungkapnya dalam Buka Buku: “Stop Membaca Berita” Karya Rolf Dobelli, Zoom Meeting, Jumat, 2 Juli 2021.    

Kalau tidak ada teriakan, laporan situasi pandemi, rumah sakit kelabakan dan kewalahan, orang antri mencari tabung oksigen, dan orang isolasi mandiri (isoman) meninggal, maka tidak ada keyakinan Pemerintah untuk mengambil kebijakan yang cepat dan tepat. Demikian beber Wisnu. Jadi, media punya peran sebagai wake up call bagi para pemangku kebijakan untuk segera bertindak mengantisipasi gejolak pandemi. 


penerbit kompas gramedia


Potensi Modal Sosial Usung Optimisme 

Wisnu lalu mengupas logika Dobelli dalam buku tersebut, bahwa media tidak  melakukan perubahan apa-apa. Ada berita soal bencana, gempa bumi, dan gunung meletus. Kita membaca berita, tapi kita tidak mendapatkan efek langsung dari yang dikabarkan itu.  Wisnu lantas mempertanyakan logika ini yang berlawanan dengan logika Dobelli berikutnya, bahwa tidak semua bisa kita kendalikan.  Misal, kita tidak bisa mencegah gunung meletus. Itu memang di luar kendali kita.  Tapi kita bisa menggalang donasi atau menjadi relawan untuk korban dari bencana yang diberitakan itu. 

Jadi, menurut Wisnu, media memang tidak memberi efek langsung, tapi media dapat menggerakan pembaca untuk melakukan sesuatu.    

“Dengan informasi faktual hasil observasi langsung di lapangan, media punya kemampuan, setidaknya mengubah perilaku kebijakan pemerintah.  Pemerintah jadi punya pertimbangan-pertimbangan,” sebut Wisnu.    

Wisnu melanjutkan, dari kebijakan besar itulah yang akan berdampak terhadap kita. Jadi,  bukan berita yang otomatis berpengaruh ke keadaan kita. Tapi berita berpengaruh kepada pihak lain untuk melakukan sesuatu yang kemudian berdampak kepada kita. 

“Kta berharap, dua minggu atau 18 hari ini, kita patuh, salah satunya karena informasi yang disampaikan media. Kemudian situasi akan berubah menjadi lebih baik. Dari situasi tersebut berdampak kepada kita,” beber Wisnu.    


Menurut Wisnu, Indonesia sebenarnya punya potensi yang bisa dioptimalkan dalam menghadapi  situasi yang terasa rumit dan menimbulkan pesimisme ini.  Indonesia  memiliki potensi modal sosial (social capital) yang cukup tinggi.  Mengutip pernyataan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, efektivitas program penanggulangan pandemi, misal vaksinasi, tidak bisa hanya mengandalkan Pemerintah. Masyarakat luas, komunitas perkumpulan, Kanisian, NU, Muhammadiyah, dan organisasi masyarakat madani lainnyalah yang efektif melakukan langkah-langkah yang menumbuhkan optimisme dan harapan.

Acara ini juga menghadirkan narasumber Dosen Komunikasi Universitas Media Nusantara Ignatius Haryanto. Buka Buku: “Stop Membaca Berita” karya Rolf Dobelli diselenggarakan oleh Penerbit KPG dan siapabilang.com  


Komentar