Hubungan Antara Gemar Campur Bahasa dengan Kondisi Kejiwaan

 

Seminar Badan Bahasa Kemendikbud Benny Arnas

Anda suka mencampur bahasa Indonesia dan bahasa asing dalam percakapan? Sama. Saya juga. Hati-hati, lho. Ternyata ada hubungan antara kebiasaan campur bahasa dengan kondisi kejiwaan si penutur. Waduh.    

 

Xenoglosia dan Xenoglosofilia 

Hal itu mengemuka dalam makalah Sastrawan Benny Arnas yang bertajuk “Sebuah Pembelajaran Bahasa: Xenoglossy vs Sastra” yang dipresentasikan di Seminar dan Lokakarya Kemahiran Berbahasa Indonesia, Pusat Pembinaan Bahasa dan Sastra, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Rabu, 3 November 2021, Hotel Mercure Ancol Jakarta.  

Mengutip situs ruang sastra, Benny Arnas menukil pendapat Oktavia da Cunta Botelho di makalah The Xenoglossy Analized by Linguist: ...Xenoglossy bukan hanya untuk ‘ceracauan’ yang sepenuhnya menggunakan bahasa yang tak dipahami oleh pengucap atau penulis---karena di bawah pengaruh gangguan kejiwaan yang kompleks, tapi juga untuk ceracauan yang menyisip dalam bahasa sehari-hari”.   

Xenoglossy berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani, yakni xennos (aneh), dan glossa (bahasa). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “Xenoglossy”  dipadankan menjadi “Xenoglosia” (nomina, psikologi) yang berarti kemampuan memahami dan menggunakan bahasa yang tidak pernah dipelajari. Di Barat, alih-alih terkait bidang bahasa, Xenoglossy justru identik di ranah keparanormalan. 

Ivan Lanin memperkenalkan istilah “Xenoglosofilia” dalam buku Xenoglosofilia: Kenapa Harus Nginggris? (2018). Meski belum masuk KBBI, menurut sebuah artikel di situs Narabahasa, Xenoglosofilia berasal dari 3 kata: xeno (asing), gloso (bahasa) dan filia (suka). Digabung, Xenoglosofilia mengandung makna kesukaan terhadap bahasa asing.    

Benny Arnas mengetengahkan fenomena menyelipkan bahasa asing (Inggris) ke dalam komunikasi baik lisan maupun teks, baik non formal maupun formal. Kebiasaan ber- xenoglosofilia dianggap mengganggu proses komunikasi karena menimbulkan kebingungan di penerima. Kegemaran mencampur kode dalam komunikasi juga dianggap bentuk keangkuhan intelektual, yang berpotensi menimbulkan konflik dan kesenjangan. Terlebih, tren ini makin marak dipopulerkan para tokoh dan pejabat negara yang semestinya terdepan meneladani penggunaan bahasa Indonesia. 

Untuk itu, Benny Arnas menawarkan solusi dengan berkreasi dalam sastra. Prosa (novel, novelet, cerpen) bisa menjadi pendekatan alternatif mengekspresikan Xenoglossy. Sastra menyediakan ruangan yang akrab dengan realitas. Dalam prosa, ruang tersebut bernama “dialog” dan “solilokui’ yang menyilakan penulis menerapkan alih/campur kode di kedua ruang tersebut. Dengan begitu, Xenoglossy tidak lagi sekadar racauan, tapi menjadi pendukung narasi dan deskripsi yang rapi, bernas, dan indah. Bahkan, prosa melatih pembaca, pengapresiasi, dan penulis menghindari Xenoglossy, hingga lebih bijak memilih padanan untuk kata atau kalimat asing.    

badan bahasa kemendikbud benny arnas xenoglossy vs sastra
 

Dari Bung Karno Hingga Sandiaga Uno 

Benny Arnas kemudian menyebutkan tokoh publik, yaitu Susilo Bambang Yudhoyono, Sandiaga Uno, dan Anis Baswedan yang gemar melakukan campur bahasa di berbagai medium komunikasi. Hal tersebut lebih lanjut dibahas di situs ruang sastra.   

Tulisan Kompas.com (08/02/17); "Hoax", "Move On", dan Bahasa Inggris dalam Pidato Politik SBY, menyebutkan kesukaan Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menggunakan kata-kata berbahasa Inggris. Kompas menghitung, sekitar 22 kali SBY mengucapkan kata-kata berbahasa Inggris dalam pidato politik di Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) dan Dies Natalis ke-15 Partai Demokrat, Selasa, 7 Februari 2017. Beberapa di antaranya: hoax, money politics, people power, move on, emerging market, sustainable growth with equality, dan equality before the law. 

Tempo.co melansir berita “Simak Nasihat Bahasa Inggris Anies Baswedan di Kepulauan Seribu”. Dalam kunjungan pada Sabtu, 11 November 2017, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyisipkan ungkapan dalam bahasa Inggris saat berbicara di depan masyarakat dan pejabat Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu.

"Pesan saya, think like a stranger, act like a native," kata Anies dalam pidatonya. "Kerjakan hal-hal yang selama ini tidak pernah dipikirkan." 

Pengusaha kini Menparekraf RI Sandiaga Uno dalam Twitter @sandiuno Sabtu 15 September 2018, berkicau: “Kita literally fine-fine aja kok. So, please jangan ada lagi ya yang mengadu my statement and Kang Emil di media which is no maksud to saling serang. Gimana kang @ridwankamil, bahasanya udah cukup jaksel belum? 😄”. 

Lepas dari euforia gaya bicara Anak Jaksel yang tenar waktu itu, twit papa online menyuguhkan contoh Xenoglosofilia. 

Jika merentang ke belakang, dari masa ke masa, perihal kegemaran memadukan bahasa Indonesia dengan bahasa asing, penulis teringat Presiden pertama RI Soekarno. Jangan lupa, Bung besar adalah seorang poliglot (orang yang menguasai berbagai bahasa). Bapak Proklamator RI memopulerkan penyisipkan bahasa asing dalam berkomunikasi terutama di tiap pidatonya. Dalam pidato HUT Proklamasi Kemerdekaan RI ke-19 “Tahun “Vivere Pericoloso (Taviv)”, Senin, 17 Agustus 1964, Penulis mencatat setidaknya ada 19 kata dan istilah bahasa asing yang dilontarkan Putra Sang Fajar. 

Kata dan kalimat berbahasa asing dalam Pidato Taviv antara lain; "The Universal Revolution of Man", "stock-opname", "razende inspiratie van de Indonesische geschiedenis", "wijs van tevoren", oerkracht, "palace-revolution", fait accompli, "exploitation de l'homme par l'homme", "exploitation de nation par nation", "revolutie op drift", "Revolution of Rising Demands", "hoofdverpleger", “expulsion stage", "midle-of-the roaders", "samenbundeling van alle krachten", "samen-bundeling van alle revolutionnaire krachten", can never draw comfort, Vivere pericoloso, dan Ever onward, never retreat. 

Munculnya kata-kata asing ini mencerminkan betapa kaya literatur dan referensi Bung Karno. Isi pidato Bung Karno mewarnai perjalanan kebahasan dari suatu bangsa baru yang mulai diperhitungkan di Asia Tenggara hingga kancah internasional saat itu. Istilah-istilah bahasa asing yang diperkenalkan tersebut juga menjadi diskursus menarik dalam menyelami alam pikir Bung Karno. 


Komentar