Tantangan Guru dan Pengajar Dalam Pendidikan Inklusif

 

Pendidikan Bagi Anak dengan Disabilitas dan Kusta

Akses menuju Sekolah Luar Biasa (SLB) yang sangat jauh, menjadi salahsatu faktor yang mendorong Sekolah Dasar Negeri Rangga Watu, Golo Desat, Mbeliling, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur melaksanakan pendidikan inklusif.    


Guru Khusus Belum Memadai 

Pendidikan Inklusif merupakan sistem penyelenggaraan pendidikan yang membuka kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa mengikuti pembelajaran  dalam satu lingkungan pendidikan bersama peserta didik umumnya. 

Penyelengaraan Pendidikan Inklusif adalah amanat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 32 ayat 1 yang menegaskan, tiap warga berhak mendapatkan pendidikan. Salah satu regulasi terkait kewajiban sekolah menyelenggarakan pendidikan inklusif adalah Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009. Permendiknas ini mewajibkan pemerintah kabupaten/kota menunjuk paling sedikit satu sekolah dasar, dan satu sekolah menengah pertama pada tiap kecamatan, dan satu satuan pendidikan menengah untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif yang wajib menerima peserta didik dari anak berkebutuhan khusus (ABK). 

Kepala Sekolah SDN Rangga Watu Fransiskus Borgias Patut mengatakan, Pemerintah membuka kesempatan anak berkebutuhan khusus memperoleh pendidikan di sekolah reguler. Tinggal tantangannya kini dari kapasitas guru di sekolah reguler yang sebagian besar berlatarbelakang pendidikan umum, bukan guru bagi ABK.   

“Di tiap sekolah, terutama di sekolah reguler, banyak kendala, antara lain di pengajar atau pembimbing yang menangani anak berkebutuhan khusus. Di sekolah negeri basic guru umum, sedang siswa kategori ABK harus ditangani secara khusus,” ungkanp Frans dalam Talkshow Ruang Publik KBR “Pendidikan Bagi Anak dengan Disabilitas dan Kusta”, Jumat 21 Oktober 2022. 

Untuk itu, Frans berharap Pemerintah mendorong para sarjana pendidikan khusus untuk mengabdikan diri ke sekolah-sekolah negeri yang menyelenggarakan pendidikan inklusif. Mengatasi tantangan tersebut, SDN Rangga Watu berkolaborasi dengan Yayasan Kita Juga (Sankita) dalam rangka pembekalan bagi guru umum mendapat kompetensi guru khusus. 

“Kita beruntung karena bermitra dengan Sankita yang membuat pelatihan kepada guru-guru bagaimana cara menangani siswa ABK,” imbuhnya. Atas dorongan Sankita, pada 2017, SDN Rangga Watu memperoleh Surat Keputusan dari Dinas Pendidikan Provinsi NTT untuk penyelenggarakan pendidikan inklusif. Meski sebelumnya, SDN Rangga Watu sudah mulai menjalankan pendidikan inklsuif. Saat ini, jumlah ABK di SDN Ranggawatu berjumlah tujuh orang anak. 

 

Sankita Bekali Guru Reguler 

Hadir juga dalam Talkshow Ruang Publik KBR, Pengelola Yayasan Kita Juga (Sankita) Anselmus Gabies Kartono. Mendapati banyak ABK di kampung dan daerah yang putus sekolah, Sankita mendorong pengupayaan pendidikan inklusif di sekolah-sekolah reguler.    

Ansel menerangkan, dalam prosesnya, Sankita mulai dengan sosialisasi kepada guru, komite, dan orang tua murid, hingga segenap pemangku kepentingan menyepakati pemberlakuan pendidikan inklusif di sekolah. Selanjutnya, pihak sekolah dan Sankita fokus ke penguatan tenaga pendidik. 

“Setelah sosialisasi, kita pelatihan identifikasi dan asesmen ABK. Tujuannya, bagaimana bapak dan ibu guru peserta mengenali ABK, apa saja jenisnya, masalah yang dialami, dan kebutuhannya,” tutur Ansel. 

Dari proses identifikasi dan asesmen itu, para guru bisa membuat strategi perencanaan belajar.  Misal, untuk ABK disabilitas sensorik netra yang masih memilki sisa penglihatan, strategi yang dilakukan bisa dari pemberian materi pembelajaran dengan huruf yang lebih besar, atau posisi duduknya di kursi paling depan.    

Talkshow Ruang Publik KBR juga menghadirkan anak berkebutuhan khusus, siswa kelas 5, SDN Rangga Watu Manggarai Barat  Ignas Carly yang memberikan testimoni mengenai pembelajaran inklusif yang diperolehnya. Ignas mengaku senang bersekolah dan lingkungan sekolah menerimanya dengan baik.    

Komentar