GMO dan Genome Editing Dongkrak Produksi Pertanian

 

Webinar ICMI CRISPR dan GMO Atasi Krisis Pangan

Pasca perang Rusia-Ukraina, terdapat kurang lebih 207 juta ton gandum tertahan di dua negara tersebut. Ditambah lagi 22 negara yang menahan stok pangan untuk tidak diperdagangkan secara internasional. Hal ini tak pelak membawa pengaruh terhadap stok pangan dunia.


Tantangan Krisis Pangan  

Dalam peringatan Hari Pangan Sedunia atau World Food Day 2022,  pada Oktober lalu, Organisasi Pangan dan Pertanian (Food and Agriculture Organization/FAO) memproyeksikan, kerawanan pangan yang buruk secara global akan terus meningkat sepanjang Oktober 2022 hingga Januari 2023. Presiden RI Joko Widodo dalam berbagai kesempatan juga mengingatkan kita akan ancaman krisis pangan hingga energi.  

Namun demikian, Indonesia tidak perlu meratapi situasi dan kondisi problematik tersebut. Ketua Umum ICMI Arif Satria mengungkapkan, justru inilah saatnya kita mencari ide, peluang, dan inovasi baru dalam menghadapi tantangan. 

“Dengan kondisi saat ini, kita melihat kesempatan agar kita bisa mendongkrak produksi nasional untuk berbagai varietas, tandasnya saat menjadi pembicara kunci ICMI TALK Teknologi Clusteres Regularly Interspaced Short Palindromic Repeats (CRISPR) dan GMO (Genetically Modified Organism) untuk Mengatasi Krisis Pangan, Selasa, 30 Agustus 2022. 

Misal, untuk tanaman pokok, yakni padi, jagung dan kedelai (pajale), minimal di ketiga komoditas pangan utama tersebut, harus terus dipacu,  salahsatunya lewat pemanfaatan teknologi GMO. Produk impor kedelai yang masuk ke Indonesia juga  sebagian adalah produk hasil GMO.    

Debat soal GMO memang sangat lama dan luar biasa, sebut Ketua Umum ICMI, hingga  kita memahami dan melihat potensi dan risiko yang diantisipasi berkaitan pemanfaatan teknologi ini. Kendati demikian, Arif Satria menuturkan, dalam perkembangan terkini, hadir teknologi Genome Editing  yang berbeda dengan GMO. Genome editing merupakan teknologi baru yang lebih murah, dan efisien meningkatkan produktivitas dan menghasilkan varietas unggul yang tahan penyakit. 

Untuk komoditas kedelai, Arif yang juga Rektor IPB ini melaporkan, saat ini dengan budidaya jenuh air, IPB bisa memproduksi kurang lebih 4,6 ton per hektar. Sudah diuji coba di 500 hektar. Tapi ketika diujicoba di 2500 hektar, produktivitasnya kurang lebih sekitar dua setengah ton, Kalau rerata nasional adalah satu setengah ton per hektar, artinya masih hampir dua kali lipat nasional. 

 

Kacang Tunggak Gantikan kedelai 

Bicara GMO untuk kedelai dan komoditas apapun merupakan persoalan dari sisi hulu. Tapi, mengintegrasikan pemikiran hulu dan hilir menjadi penting, supaya kita tidak sekadar memacu produksi petani yang melimpah tanpa solusi di pasar. Acapkali persoalan pasar timbul di mana petani tidak memiliki insentif yang cukup kuat untuk mampu memproduksi dengan harga yang baik. 

Berkaitan diversifikasi non pajale, Arif Satria melanjutkan, sekarang sedang tren diversifikasi bahan baku lokal yang layak dipertimbangkan. Untuk subsitusi kedelai, kita punya kacang tunggak untuk pembuatan tempe. 

Pun komoditas lain yang berbasis sagu. Pemanfaatan sagu dari 5 juta hektar, baru 5 persen yang dioptimalkan. Padahal sagu bisa sampai 40 ton per hektar kalau kita produksi dan panen. Langkah selanjutnya, bagaimana kita agar mampu secara teknologi pertanian melakukan fortifikasi terhadap produk-produk sagu, misalnya karena beras dari sagu sudah bisa dihasilkan. Hal ini supaya pangan kita bisa ke arah diversifikasi yang tepat. 

Arif mengatakan, ada kecenderungan selama kurang lebih 5-10 tahun ini, di mana diversifikasi kita kurang tepat terkait dari beras ke gandum.

“Kita mengurangi konsumsi beras, tapi beralih ke gandum dan terigu yang berbasis pada impor. Artinya kita diversifikasi yang boros devisa,” imbuhnya. 

 

Neraca Jam Kerja Nasional 

Maka, kita harus menghindari diversifikasi yang boros devisa dengan meningkatkan kemampuan dan kapasitas memproduksi bahan baku lokal. Diversifikasi produk-produk berbahan baku lokal akan menggeliatkan ekonomi desa. Jadi, jangan hanya bicara soal kecukupan pangan yang disuplai lewat impor, tapi harus juga memperhatikan imbasnya terhadap neraca jam kerja di dalam negeri. 

Arif mengingatkan soal pesan Ketua ICMI pertama Bacharuddin Jusuf Habibie (BJ Habibie) yang sangat mewanti-wanti pentingnya neraca jam kerja. Kalau kita tergantung pada impor, maka neraca jam kerja orang Indonesia akan defisit. Sebaliknya, necara jam kerja negara-negara lain akan positif. Kalau neraca jam kerja kita negatif, produktivitas kita pun rendah hingga sulit membangkitkan ekonomi nasional. 

Karena itu, dengan meningkatkan surplus neraca jam kerja, artinya orang Indonesia produktif. Selanjutnya, dibutuhkan kebijakan-kebijakan yang berpihak pada  kesiapan bahan baku lokal mendukung kebutuhan pangan nasional. Di antaranya, kebijakan rasio dapat terus didorong. Sekadar ilustrasi, untuk 10 ton impor gandum improtir harus membeli 1 ton komoditas kita. 

Angka tersebut relatif dan bisa disesuaikan dengan kondisi. Lama kelamaan, kalau kapasitas produksi lokal sudah banyak dan siap, rasio bisa  satu banding satu. Hal ini supaya kita hemat devisa, ekonomi desa makin menguat, dan negara kita berdaulat.  Untuk itu, teknologi GMO dan genome editing terus dikaji dari berbagai aspek, potensi, risiko, dsb. Hal ini diharapkan bisa memberikan solusi tepat ke arah mana kita akan kembangkan budidaya untuk mencukupi kebutuhan pangan nasional.          

Hadir narasumber dalam Webinar Nasional ICMI, antara lain Ketua Masyarakat Agribisnis dan Agroindustri Indonesia Fadel Muhammad, Kepala Pusat Hortikultura dan Perkebunan (PRHTP) BRIN Dwinita Wikan Utami, Ketua Komisi Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik (KKHPRG) Bambang Prasetya,  Head-Rice Genetic Design and Validation Unit IRRI Philipines Inez Slamet-Loedin, dan Head of Seed Business Syngenta Indonesia Fauzi Tubat bersama Moderator Wakil Sekretaris Jenderal ICMI Maxdeyul Sola.    

 

Komentar