Jika Tak Mampu Secara Kuantitas, Bersaing Kualitas




Film anak tapi dibuat oleh orang dewasa. Sehingga karakter dan plot tidak orisinil memotret kesehariannya. Kelucuan anak-anak datang dari skrip yang ditulis orang dewasa. 


Perbanyak Karya

Demikian cetus Suroso dari HKK Animation Academy dalam Ngobrol Publik "Pentingnya Sertifikasi Profesi", Sabtu 5 Mei 2018,  Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Jakarta .

“Permasalahan kita adalah film anak-anak, tapi yang buat orang dewasa. Sehingga lucunya tidak dari anak-anak. Ada orang gendut diketawain. Karena yang membuat materinya orang dewasa,” imbuhnya.

Untuk itu hadir sekolah-sekolah yang menyambut minat anak, dalam hal ini ,terhadap dunia animasi. Agar produk film kartun aseli dibuat oleh anak

“Kita tidak percaya bakat, tapi kemauan, dan punya passion di bidangnya. Orang berpikir animasi harus gambar. Tidak. Ada 12 prinsip animasi dari Disney,” jelas Suroso.

Animator Disney, Frank Thomas & Ollie. Johnston memperkenalkan 12 prinsip animasi lewat buku “The Illusion of Life : Disney Animation”. Dua belas prinsip animasi meliputi dasar-dasar gerak, pengaturan waktu, pengayaan visual, sekaligus teknis pembuatan sebuah animasi.

Dalam berkarya, lanjut Suroso, bukan seberapa canggih film animasi diciptakan. Karena kembali lagi; content is the king. Disney terus memproduksi film kartun mulai dari yang klasik hingga kini 3D.

“Disney pun mengalami tidak untung. Kita bilangnya istikamah. Waktu ditanya: Anda bikin film supaya kaya? Tidak. Dia bikin film supaya filmnya banyak. Saat film kita banyak lalu ada yang bagus, masyarakat akan melihat,” bebernya .

Hal serupa dialami rumah produksi Les Copaque, pembesut serial kartun Malaysia Upin dan Ipin. Produksi awal mereka;  “Pada Zaman Dahulu” dikenal masyarakat setelah sukses kisah Abang dan Adik berkepala plontos itu.     

Ekonomi Kreatif

Ekonomi kreatif menjadi makin relevan karena tuntutan peralihan era. Perjalanan perkembangan ekonomi dunia merentang dari abad 18 Era Pertanian (petani), abad 19 Era Industri (pekerja pabrik), abad 20 Era Informasi (pekerja pengetahuan) dan kini abad 21 Era Konseptual (pencipta dan pengempati).     

Sumber daya alam makin menipis dan hanya dikuasai segelintir. Para pemain dari generasi zaman now tak akan kebagian. Di lain sisi, kita jelas masih tertinggal dari aspek teknologi. Suroso sebutkan, teknologi olah produksi film belum optimal bersaing. Di Indonesia, menyelesaikan film durasi satu setengah jam, butuh minimal 3 minggu hingga 1 bulan. Sedangkan di negeri tirai bambu bisa lebih cepat dan murah.

"DI Tiongkok hitungan hari. Karena shift di sana 10 jam, dan komputer mati hanya 4 jam. Untuk teknisi saja masuk dua shift, pekerjaan selesai. Harganya 30% lebih murah,” ungkapnya.  

Maka pengembangan ekonomi kreatif oleh kaum muda menjadi jawaban kita hari ini. Yang masih menjadi tantangan adalah meyakinkan orang tua bahwa berjibaku di industri kreatif juga potensial. Sudah banyak bukti anak bangsa yang berjaya di kancah internasional.

“Kita mau bersaing di mana kalau bukan di industri kreatif? Kalau secara kuantitas kalah, secara kualitas ide kita harus lebih kreatif. Teman-teman sudah go international, misal Pak Tono dengan radio kayu,” beber Suroso.

Dalam memperingati Hari Pendidikan Nasional, Tempat Uji Kompetensi Biro Asesmen Profesi berkerja sama dengan 'Semua Murid Semua Guru' mengadakan seminar yang menjelaskan sertifikasi bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) sesuai peta okupasi TIK Nasional sesuai UU No. 13 Tahun 2003.


Komentar